Bab 11 | Surya dan Dunianya

35 17 0
                                    

“Malam itu, dia menangis cukup lama, memohon kepada Tuhan untuk menghilangkan semua rasa sakit yang ada.”


Langit mendung melingkar seperti kain sutra kelabu, menyimpan rahasia di antara awan dan menciptakan lanskap yang penuh misteri. Cahaya dan bayangan bermain dalam tarian teka-teki, sementara air hujan menari di atas permukaan langit yang penuh emosi. Setiap gumpalan awan membawa nuansa melankolis dan keindahan, menghadirkan lukisan hidup yang tak pernah bosan di atas kepala.

Sudah sekitar sepuluh menit Karan mengetuk pintu rumah Surya yang tak kunjung terbuka. Rintik gerimis perlahan turun, menambah kesan sendu pada langit yang terbungkus awan kelabu. Karan merasa gelisah karena Surya telah absen dari sekolah selama empat hari, tanpa kabar atau jawaban.

“Ya, tolong buka pintunya! Lo ada di dalam kan?” desak Karan.

Langkah kaki mendekat, dan Surya membuka pintu sedikit, menyisakan celah gelap.

“Akhirnya lo buka juga. Gue—"
“Mending lo pergi dari sini, Kar,” potong Surya tiba-tiba.
Karan merasa kebingungan. Seiring rintik hujan yang semakin deras, Surya tetap merahasiakan keadaannya.

“Sebulan lagi kita mau UTS, Ya. Setidaknya lo ngomong ada masalah apa. Siapa tau gue bisa bantu,” coba Karan.
“Lo gak akan bisa bantu, Kar. Lo gak pernah ada di posisi gue. Orang kayak lo tau apa sih?”

Bertahun-tahun berteman, baru kali ini Surya membentak Karan. Hujan menjadi pelipur lara untuk ketidaknyamanan yang muncul, Karan yang sudah basah oleh hujan terdiam mendengar Surya menaikkan suaranya. Bukan gemuruh hujan yang terdengar di hatinya, melainkan perasaan cemas karena mungkin Surya tidak baik-baik saja. Surya hanya melampiaskan ketidakmampuan untuk menunjukkan keadaannya.

“Pulang, Kar. Hujannya deres, nanti lo sakit,” ujar Surya, kembali menutup pintu dengan rapat.
Ia mengintip lewat celah pintunya, Karan menuruti permintaannya untuk pergi. Surya kembali mengunci pintunya, langkahnya naik tangga terdengar redup, ia meringkuk kembali di kamarnya untuk meresapi kesendirian yang semakin dalam.

Hatinya terasa berat oleh penyesalan, menghantui setiap sudut gelap pikirannya. Merenung sembari berpikir bahwa Karan dengan semua keberuntungannya, tak akan pernah sepenuhnya mengerti beban yang dipikulnya. Karan dengan dunianya yang sempurna tak akan pernah bisa memahami dan membantu Surya menghadapi hal-hal yang tak pernah terbayangkan olehnya.

Tubuhnya lemas, merasakan kekurusan sebagai akibat dari rasa sakit dan perih yang menyelimuti. Beberapa hari lalu, saat ayahnya pulang dalam keadaan mabuk, menjadi bayang-bayang hitam yang menghantuinya. Dalam pengaruh alkohol yang memabukkan, sang ayah melampiaskan amarah dan kekecewaannya kepada Surya yang saat itu hendak menuju sekolah.

Sebuah gesper yang dilepaskan dengan kasar, serta cambukan berkali-kali pada tubuhnya, dan kata-kata kasar yang seolah menjadi mantra kekecewaan ayahnya.
Langit di luar jendela menggambarkan perasaannya yang suram. Hujan turun, seolah menjadi pengiring simfoninya yang menyayat hati. Surya meratapi nasibnya yang terluka, merasa seperti korban hujan deras yang meresapi setiap celah dalam kamarnya yang gelap. Pelangi tak tampak, hanya mendung kelabu yang menyelimuti langit, mencerminkan kegelapan yang mendalam dalam jiwa lelaki itu, menciptakan arena untuk kepedihan yang tak terucapkan.

Surya merintih kesakitan ketika gesper itu menghujani tubuhnya. Punggungnya yang renta terasa perih, dan wajahnya yang penuh lebam menjadi saksi bisu dari ketidakadilan yang terus berulang.

"Ampun, Yah...," bisiknya dengan suara serak, seakan mengharapkan belas kasihan yang tak pernah tiba. Umpatan kasar sang ayah menghantam hatinya seperti badai yang tak kunjung reda. "Kenapa gue harus punya anak kayak lo? Kenapa lo harus lahir di dunia ini? Gara-gara lo, hidup gue berantakan. Anak sial lo,"

Surya tak kuat lagi menahan derita. Gesper itu tak kenal lelah, seperti lambaian dendam yang tak ada akhir. Setiap hantaman membawa kepedihan yang semakin dalam, merangkak di benaknya seperti luka yang tak pernah sembuh.

Tangan kasar sang ayah merenggut pipinya dengan kejam, menciptakan rasa sakit yang menyiksanya secara fisik dan mental. "Bisa gak sih lo mati aja?" teriak sang ayah sambil melemparnya begitu saja, membuatnya terbanting hingga ke sudut lemari.

Surya menangis dalam kegelapan, bukan hanya karena rasa sakit fisik yang melumpuhkannya, melainkan juga luka batin yang semakin dalam. Di hari yang begitu kelam, ia meratapi nasibnya yang tak kunjung membaik, bersama dengan rintihan hujan yang seolah turut meratapi kepedihannya.

Ya, mungkin emang lebih baik kalau gue mati, ujarnya dalam hati sebelum dirinya pingsan dikamarnya sendiri.
Keesokan harinya, Surya membuka mata dengan rasa sakit yang mendalam. Bayang-bayang kegelapan masih merayap di sekitarnya, terutama ketika cahaya pagi membelah tirai kamarnya. Wajahnya yang terluka dan bengkak seolah menciptakan pemandangan yang penuh penderitaan. Seragam sekolahnya kotor oleh darah yang mengalir dari pelipis dan punggungnya, sisa-sisa penyiksaan semalam.

Surya merasa lumpuh, seperti terikat kuat oleh beban tak terlihat di lantai kamarnya. Tatapannya terarah pada sebuah cermin di atas nakas, di mana bayangan dirinya terpantul. Tanpa ragu, ia meraih cermin itu, kemudian dengan tangan gemetar, melemparkannya hingga pecah berkeping-keping.

Dalam keheningan pecahan kaca, bisikan pahit sang ayah terus menghantuinya, memenuhi ruang pikirnya yang rapuh. Tanpa berpikir panjang, lelaki itu menggenggam potongan-potongan kaca yang tajam. Dengan gerakan yang penuh keputusasaan, ia mulai menyayat lengannya berulang kali. Setiap goresan adalah ekspresi dari amarah yang terpendam, tetapi setiap usahanya meleset, menandakan kelemahan dalam dirinya yang tak terelakkan.

Akhirnya, kedua lengannya dipenuhi oleh luka goresan, menjadi kanvas penuh luka yang menggambarkan pertempuran dalam dirinya. Surya meratapi kehidupannya sendiri, ia mencoba mencapai kematian dalam upayanya yang kesekian kalinya. Akan tetapi, yang tersisa hanyalah puing-puing rasa sakit dan pilu yang menantinya di antara reruntuhan jiwa yang terluka.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang