Bab 25 | Digicam untuk Surya

33 19 0
                                    

"Dirinya tetap seorang ayah, bagaimanapun keadaannya itulah kenyataannya."


Mereka berdua tiba di sebuah toko seni yang tersembunyi di jalan kecil dekat Pasar Seni. Gerbang kayu dengan warna yang sudah agak pudar terbuka lebar, menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Sebuah plang kecil bertuliskan "SeniMurni" dengan gaya huruf yang artistik terpampang di atas pintu. Toko ini dikelola oleh seorang lelaki tua yang gemar melukis. Lokasinya tidak terlalu mencolok, karena berada di lorong sempit yang dihiasi dengan lukisan-lukisan jalanan dari seniman lokal.

Pagi itu, Kana dan Surya memutuskan untuk mengunjungi SeniMurni karena Kana membutuhkan beberapa alat lukis baru untuk hobi lukisnya yang nantinya akan dijual secara online. Kana, yang biasanya mengendarai motornya, meminta Surya untuk menemaninya karena motornya sedang dipinjam oleh ayahnya pergi ke pasar.

Ketika mereka memasuki toko, aroma cat segar dan kanvas baru langsung menyergap indra penciuman mereka. Wangi yang harum dan menyegarkan itu mengundang perasaan nyaman dan kehangatan. Udara di dalam toko terasa segar, seakan-akan memberi semangat baru kepada siapa pun yang memasukinya.
Di sekeliling toko, terhampar berbagai macam alat lukis dengan rapi. Rak-rak kayu yang teratur memajang kuas-kuas berbagai ukuran, dari yang kecil dan halus hingga yang besar dan tebal. Setiap kuas memiliki daya tariknya sendiri, mengundang siapa pun yang melihatnya untuk segera mencobanya. Selain itu, di sudut toko, terdapat rak-rak yang dipenuhi dengan botol cat akrilik dalam berbagai warna.

“Lo mau beli apa, Na?” Pandangannya mengamati sekeliling dengan penuh perhatian, terdapat lukisan-lukisan realis yang begitu hidup, serta karya-karya abstrak yang membingungkan namun penuh makna.

"Sebuah set kuas baru, beberapa tabung cat akrilik, dan satu kanvas besar," jawab Kana sambil memeriksa rak-rak di sekelilingnya.

Surya mengamati salah satu lukisan manusia yang tersusun indah di dinding toko. Lukisan-lukisan itu menggambarkan berbagai ekspresi manusia dengan detail yang menakjubkan, mulai dari senyum ceria hingga air mata haru. Terpesona oleh keindahan dan ekspresi yang ditampilkan dalam lukisan-lukisan itu, terbersit sesuatu di benaknya.

"Kenapa lo tiba-tiba tertarik sama lukisan-lukisan ini?" tanya Kana, dengan sedikit kebingungan dalam suaranya, ia mengikuti arah pandang lelaki itu.
Sementara itu, Surya terdiam sejenak, matanya masih terpaku pada lukisan-lukisan yang tergantung di depannya.

"Gak tau juga, kayaknya ada yang beda dari lukisan-lukisan ini. Mereka kayak... bicara, gitu," jawabnya, mencoba menjelaskan apa yang dirasakannya.
Kana mengangguk mengerti. "Iya, memang. Mungkin karena detailnya yang begitu hidup."

"Mungkin," sahut Surya sambil terus mengamati lukisan-lukisan tersebut dengan penuh perhatian. Akhirnya, Surya mengalihkan pandangannya pada Kana.

"Lo mau ajarin gue lukis gak?" ujarnya dengan wajah penuh harap.
Kana terkejut mendengarnya. "Serius? Lo mau belajar melukis?"
Surya mengangguk mantap. "Iya, entah kenapa tiba-tiba aja tertarik,"
"Okay, I'll teach you to paint. And tell me why you're happy these days, how is it?"

Kana dengan santai mengangkat kedua bahunya.
Lelaki itu mengangguk, dengan suara tawa ringan diakhir. Kana tahu bahwa di antara kedua sahabatnya pasti telah terjadi sesuatu, mengingat beberapa hari terakhir ini wajah Surya terlihat begitu cerah dan terlihat bahwa sesekali lelaki itu memperhatikan Anya begitu dalam, Kana adalah orang yang mudah peka terhadap hal seperti ini.

Setelah memilih dengan teliti berbagai barang yang mereka butuhkan, Kana dan Surya melangkah menuju ke kasir di ujung toko untuk membayar. Langkah ringan mereka di lantai kayu, menciptakan bunyi yang menenangkan di ruangan itu. Kana, yang sudah sering berkunjung ke toko ini sebelumnya, tampak sangat akrab dengan Pak Wira.

Ia menceritakan beberapa proyek lukisnya yang sedang dikerjakannya, dan Pak Wira dengan antusias mendengarkan cerita-cerita Kana sambil sesekali memberi pujian atas karya-karyanya.

Surya tiba di rumah setelah mengantar Kana beberapa waktu yang lalu. Sebelum pulang, mereka sempat menghabiskan waktu di rumah makan favorit Kana, sambil menagih janji untuk berbagi tentang perasaannya beberapa hari terakhir ini.

Dengan suara lembut, ia mulai menceritakan perlahan-lahan, merangkai kata-kata dengan hati-hati untuk mengungkapkan inti dari setiap perasaan yang tersembunyi di lubuk hatinya. Surya menggambarkan bagaimana setiap percakapan dengan Anya memberikan warna baru dalam hidupnya, bagaimana waktu bersama perempuan itu menjadi sebuah melodi yang menyenangkan baginya, dan bagaimana setiap tatapan mata Anya membawa kedamaian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Mata Kana menatap Surya dengan penuh perhatian, ia sempat terkejut mendengar pengakuan itu, tetapi Kana merasakan setiap getaran emosi yang tersirat di setiap intonasi narasi yang diucapkan oleh sahabatnya. Lelaki itu belum pernah memiliki pengalaman cinta sebelumnya, dan melihat ekspresinya yang berbunga-bunga seperti ini sedikit membuat Kana merasa terkejut.

Surya menemukan rumah dalam keadaan sepi tanpa kehadiran ayahnya. Dengan langkah-langkah pelan, dia naik ke kamarnya, masih terbayang dengan perasaannya tentang Anya. Namun, saat dia memasuki kamarnya, dia kaget melihat ada sebuah kamera digital yang terletak di atas meja belajarnya.

Ia mendekati meja belajarnya dengan langkah hati-hati. Di atasnya terletak sebuah kamera digital itu. Matanya memandang perangkat itu dengan penuh kebingungan. "Ini... digicam yang pengin gue beli," gumamnya pelan, mencoba mencerna keberadaan kamera tersebut di sana.
Surya mengambil kamera digital itu dari meja, merasakan teksturnya yang halus di telapak tangannya. Hatinya dipenuhi keheranan dan kegembiraan campur aduk. Ia tidak bisa menahan senyumnya saat merasa bahwa keinginannya untuk memiliki kamera digital ini telah terwujud, meskipun dengan cara yang sangat tak terduga.

Dengan hati yang masih dipenuhi kebimbangan, Surya turun ke lantai bawah sambil membawa kamera digital itu. Langkahnya ringan, seakan-akan terbang di atas awan kegembiraan. Ketika ia sampai di ruang tamu, dia melihat ayahnya baru saja keluar dari kamar mandi, mengeringkan rambutnya dengan handuk.

“Yah,” panggil Surya dengan antusias, menyambut ayahnya dengan canggung di wajahnya.

Pria itu mengangkat kepalanya dan menatap putranya dengan mata yang dulunya penuh kasih.

“Kamu udah pulang,” pandangannya beralih pada kamera digital ditangan anak lelakinya itu.

Surya menunjukkan kamera digital yang ia genggam erat di tangan. "Yah, ini... Ayah yang beli?" tanyanya, suaranya bergetar antara kegembiraan dan kebingungan.

Begitu mendengar pertanyaan Surya, pria itu memegang bagian belakang lehernya, kebiasaan yang menurun pada Surya sebagai sebuah pertanda yang menunjukkan kegugupannya. "Oh, itu... Ayah lihat di pasar baru tadi. Ayah gak sengaja ngeliat sebuah catatan di meja kerjamu. Ada daftar keinginan di sana, dan ayah pikir kamu ingin punya kamera ini. Tapi percayalah, ini hanya kebetulan aja, bukan hadiah atau semacamnya."

Lelaki itu mengangguk, berusaha menutupi kegembiraan dalam dadanya. "Ah, mengerti. Terima kasih, Yah," ucapnya sambil mencoba tersenyum.

Tanpa anak lelakinya sadari, senyum tipis terukir di bibir sang ayah. Kemudian, dengan santai, dia kembali melipat korannya sambil menunggu waktu yang membawa hubungan keduanya semakin membaik secara natural. Pria itu lagi-lagi harus berbohong seperti saat dirinya membayar uang sekolah putranya dua bulan lalu.

Sebenarnya waktu itu, ia yang membayar tagihan Surya dengan gaji pertamanya, karena sejak Surya pergi dari rumah, sang ayah baru merasakan arti kehilangan yang sesungguhnya, membuatnya sadar bahwa kalau dirinya terus-terusan seperti ini, maka kehilangan lainnya akan datang dan ia tidak menginginkan hal itu terjadi. Hanya Surya yang dimilikinya saat ini, ia sadar bahwa perilakunya yang selama ini sudah melampaui batas tidak bisa dimaafkan begitu saja, setidaknya hubungan mereka mulai membaik dari waktu ke waktu, dan sang ayah tidak ingin memaksa putranya untuk cepat memaafkannya, ditambah kalau sudah berbicara tentang Surya, pendiriannya seolah-olah dipatahkan sebab rasa gengsinya yang tinggi.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang