Bab 3 | Sejatinya, tidak ada yang sempurna

68 32 3
                                    

“Seseorang hanya dapat menilai sesuatu dari yang terlihat, mereka tidak tahu apa yang tersembunyi dibalik tawa si paling ceria.”


Malam ini melabuhkan keruhnya, langit berpisah dengan kehadiran bintang-bintang yang biasanya menghiasi. Angin malam berbisik sejuk, mengajak semua untuk berdiam. Meski begitu, bagi Surya, malam ini tak memberikan pelukan kenyamanan. Sejak pagi hujan mengepul tanpa henti, membuatnya baru dapat mulai bekerja pada pukul 18.30 ini. Tubuhnya terbungkus hoodie hitam, siap menjaga minimarket di ujung jalan dekat rumahnya. Meskipun jalan kaki bisa menjadi pilihan, ia lebih memilih berkendara dengan motor matic yang biasa digunakan untuk berangkat sekolah.

"Bagi duit, Ya. Ayah gak ada duit," Surya baru saja mengambil kunci motor yang tergeletak diatas meja dekat pintu ketika ayahnya datang, pakaian yang berantakan serta bau alkohol yang menyengat, sudah sangat biasa baginya. Surya tak perlu bertanya, ia tahu ayahnya pasti kalah judi. “Surya nggak ada uang Yah,”

"Gak, gak. Lo boongin gue kan? Mana sini duitnya," sang ayah merogoh kantong celana jeans Surya untuk membuktikan bahwa ia sedang berbohong. Tapi Surya tetap kukuh, ia tak punya uang.

"Alah, ini apa buktinya?" sebuah dompet coklat kini berada di tangan sang Ayah, berisi uang yang sebelumnya milik Surya.

"Aku kan baru kasih tiga ratus ribu ke ayah dua hari lalu, masa udah habis aja, Ayah pasti judi lagi kan?"
Surya mendecak pasrah ketika uangnya diambil secara paksa. "Kamu pembohong kayak ibumu. Udah sana cari uang lagi, balas jasa ayah yang udah ngurusin kamu," sang ayah melayangkan pukulan ke kepala Surya, lelaki itu mengambil dompet yang tergeletak dilantai dengan kasar, kemudian pergi meninggalkan rumah.

Satu rahasia tersembunyi dari ayahnya adalah bahwa Surya sengaja hanya menyisipkan sejumlah uang dua puluh ribu rupiah di dalam dompetnya. Ia sadar bahwa sang ayah pasti akan memaksa untuk mengambil uang darinya. Oleh karena itu, Surya selalu berhati-hati dan tidak pernah menyimpan seluruh uangnya di dompet. Setiap uang hasil kerjanya, ia titipkan dengan cermat di rekening milik Karan, lelaki itu yang menawarkan tawaran tersebut karena melihat penderitaan yang dialami Surya.

Karan yang muak melihat Surya selalu memberikan semua uangnya pada ayahnya yang tidak bertanggung jawab, mengusulkan agar Surya menitipkan uang di rekening miliknya. Meskipun terdengar rumit, kedua teman itu merinci rencana tersebut dengan seksama. Surya yang sangat mempercayai Karan, menerima tawaran itu dengan harap bisa menjaga keuangan dari kerakusan ayahnya. Lalu pada saat Surya membutuhkan uang, ia hanya perlu meminta kepada Karan yang nantinya akan dikurangi dari jumlah uang yang ia miliki.
Meski ayahnya terkesan seperti seorang pecundang yang tidak bertanggung jawab terhadap dirinya, di lubuk hatinya, Surya menyayangi sosok itu. Sejak kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah, ayahnya selalu menjadikan Surya sebagai pelampiasan untuk menyalurkan amarahnya. Baik dalam bentuk pukulan maupun tindakan lain yang menyakitkan, ayahnya sering kali mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap Surya yang saat itu masih belum mengerti cara dunia bekerja. Namun, selama beberapa bulan terakhir ini, Surya jarang sekali mengalami kekerasan fisik seperti masa kecilnya. Entah karena ayahnya menyadari bahwa Surya kini merupakan sumber uang baginya atau karena Surya tidak lagi menjadi sosok yang merengek seperti dahulu. Surya tidak tahu pasti apakah ayahnya menyayanginya atau tidak, yang terpenting adalah fakta bahwa setidaknya, ayahnya tidak meninggalkannya seperti ibunya dulu.

"Uang minggu ini sudah Papa kirim, ya, Anya."
"Papa sama Mama kapan pulang?"
"Papa masih punya banyak urusan di sini. Kamu gak apa-apa kan?"
"Aku kangen Papa sama Mama." Suara Anya tertahan, seakan ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya, membuatnya mencengkram erat boneka teddy bear berwarna pink di atas pangkuannya.

"Papa juga kangen Anya. Udah dulu ya, jangan lupa belajar yang rajin. Love you, sweetheart," ucap suara berat dari seberang teleponnya sebelum mematikan sambungan telepon dengan Anya. Perempuan itu belum sempat mengucapkan balasan, ia menggigit bibir bawahnya lalu melempar telepon sembarang di atas kasur.

Anya menenggelamkan wajahnya di balik bantal berwarna pink, yang senantiasa menjadi saksi bisu bagi setiap tangisan dan rasa rindu yang terpendam. Tetesan air mata yang tak terbendung menyeimbangkan keheningan malam di kamarnya. Sudah tiga tahun sejak orang tuanya membuat keputusan besar untuk merantau dan berbisnis di luar negeri. Keputusan tersebut seolah menjauhkan Anya dari hangatnya pelukan dan senyuman kedua sosok yang menjadi pusat kehidupannya.

Kekecewaan Anya tumbuh subur seperti rerumputan liar yang melanda hatinya. Sebelumnya, meskipun kedua orang tuanya selalu sibuk dengan aktivitas masing-masing, setidaknya Anya masih bisa merasakan kehadiran mereka di rumah. Namun, sejak mereka memutuskan untuk menetap di Inggris, rumah ini terasa sunyi, dan setiap sudutnya hanya mengingatkan Anya pada kekosongan yang menganga dalam hatinya.

Anya telah bersabar sejak dulu, tumbuh dengan kekurangan kasih sayang yang seharusnya menjadi haknya sebagai anak tunggal. Orang tuanya, terlalu terlena dengan keyakinan bahwa Anya pasti akan baik-baik saja, ditemani oleh Kenzo yang selalu menjadi pendampingnya, para pembantu yang menjaga kerapihan rumah, bodyguard yang mengamankan keselamatannya, dan aliran uang yang tak pernah surut. Meski, dalam ramai keramaian tersebut, Anya masih merasa sendiri, dan satu-satunya obat adalah kehadiran hangat kedua orang tuanya, yang kini semakin menjadi khayalan di tengah rindu yang tak kunjung sirna.

Semua mata memandangnya sebagai sosok yang hidup dalam kemewahan, gadis yang tak pernah merasakan kekurangan. Berbeda dengan Surya yang percaya bahwa uang mampu memenuhi semua keinginannya, bagi Anya, kekayaan tak selalu berarti kebahagiaan. Ia menyadari bahwa meski harta melimpah dapat membeli banyak hal, namun kebahagiaan sejati tak tergantung pada materi.

Dalam sudut pandang Anya, kekayaan yang dimilikinya tidak mampu membawa kebahagiaan sejati. Anya memang memiliki segalanya, tetapi terdapat kekosongan yang tak dapat diisi oleh materi semata. Kesadaran ini membawanya pada pemahaman bahwa uang hanya menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan materi, bukan kunci utama menuju kebahagiaan. Ia merasakan sendiri bahwa kehidupan yang penuh harta belum tentu memberikannya kebahagian. Lebih dari sekadar kepemilikan materi, kebahagiaan sejati seharusnya ditemukan dalam momen-momen kecil, penghargaan terhadap kehidupan, dan konektivitas emosional dengan orang-orang terkasih di sekitar kita.

Setelah berlalu beberapa menit, isakan Anya perlahan mereda. Dia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan yang memiliki akar yang sama. Ia tahu bahwa kesepian seringkali menyergapnya, tetapi tanpa sepengetahuan orang lain, Anya melibatkan diri dalam kegiatan yang bertujuan untuk menghindari keheningan yang bisa membangkitkan perasaan kesepiannya. Walau kadang sesekali bayangan kesendirian itu merayap di dalam hatinya, Anya selalu berusaha dengan cepat mengatur dirinya agar dapat menjaga citra bahwa dirinya adalah sosok yang ceria dan selalu penuh kebahagiaan. Begitulah, sebagai seseorang yang telah diberi label oleh orang-orang di sekitarnya.
Ponselnya bergetar, menandakan pesan masuk dari seseorang. Matanya yang masih menyisakan sembab tidak terlalu jelas melihat apa yang dituliskan pada layar.

"Halo, Anya. Kita dipilih buat duet lagu di festival nanti. Lo udah dapet pesannya kan?"
"Udah," jawab Anya singkat.
"Mau kapan diskusiinnya? Biar bisa persiapan dari sekarang."
"Lo ke rumah gue aja nanti malem."
"Ok, see you."
Anya berusaha menampilkan citra ceria melalui percakapan melalui ponsel tersebut. Pesan sebelumnya ternyata berasal dari grup sekolah yang memintanya untuk menjadi pasangan bernyanyi Karan. Lelaki itu memiliki suara yang mumpuni dan juga mahir bermain gitar. Seharusnya dia bisa menjadi seorang penyanyi kalau bakat tersebut dikembangkan.

Meskipun dirinya sendiri masih belum memikirkan konsep lagu yang akan dibawakannya, ia merasa senang karena akhirnya memiliki kegiatan yang membuatnya tidak lagi terjebak dalam kesedihan. Ia harus fokus untuk mendiskusikan persiapan festival ini nanti malam. Lebih cepat lebih baik, walau pikirannya masih berantakan, tetapi Anya akan selalu mencoba yang terbaik.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang