Bab 22 | Sekotak Martabak

33 18 0
                                    

"She deserves the best, so be the best for her.”


Hampir satu bulan berlalu tanpa banyak interaksi antara Surya dan ayahnya. Keduanya memilih bungkam, meninggalkan ruang hening yang terasa begitu menggelayut dalam rumah itu. Namun, hal baiknya adalah bahwa tidak lagi terdengar gemuruh pukulan atau dentuman kemarahan di antara dinding-dinding rumah itu. Hanya kesepian yang mengendap seperti kabut tebal, mengisi ruang dengan kekosongan yang memilukan.

Meski begitu, Surya tetap melakukan rutinitasnya seperti biasa. Dia masih menyiapkan hidangan untuk sang ayah, meskipun tanpa banyak kata. Dia juga mencatat sedikit perubahan dalam sikap ayahnya; tidak lagi terbenam dalam kegelapan alkohol seperti sebelumnya. Meski tidak ada komunikasi yang terjadi di antara mereka, Surya merasa lega karena tidak lagi mengalami perlakuan kasar. Dia berharap bahwa kejadian kemarin merupakan titik akhir dari segala kekesalan yang sempat meledak.

Surya berharap agar hubungannya dengan sang ayah dapat kembali seperti dulu, harmonis dan penuh canda tawa. Namun, harapan itu terasa semakin menjauh setiap harinya.

“Tumben banget lo dari kemarin pegang buku mulu,” goda Karan.
Saat itu, beberapa orang sedang bermain sepak bola di lapangan. Karan mengajak Surya untuk menonton bersama, mengamati strategi para pemain lawan agar bisa merencanakan taktik yang lebih baik untuk tim mereka.

Biasanya, Surya akan tertarik mengamati kekuatan dan kelemahan lawan. Tetapi, belakangan ini, pikirannya lebih terfokus pada ujian tengah semester yang menantang. Sesuatu yang sebelumnya tak pernah berhasil menarik perhatiannya.

“Kan lagi ulangan,” jawabnya sambil menyelorohkan kaki di teribun didepannya.
"Dih, gaya lo. Biasanya aja lo gak peduli, kesambet apaan?" sergah Karan.
"Kayaknya kalo dipikir-pikir gue nih sebenarnya pinter, Kar."
"Sumpah lo sakit gak sih, Ya. Lebay banget omongan lo," ujar Karan, masih terheran-heran dengan perubahan mendadak Surya.
"Sehat gue, cuma mau memperbaiki nilai aja," jawab Surya sambil mengangkat bahu.

Surya masih termenung, merenungkan perubahan drastis dalam dirinya sendiri. Karan, di sisi lain, juga terkejut dengan perubahan ini. Beberapa hari belakangan, Surya terlihat begitu serius saat belajar, bahkan meminta penjelasan ulang kepada Kana untuk bagian yang sulit dipahami.

“Lo lagi jatuh cinta ya?” sindir Karan tiba-tiba.
Surya terkejut, air yang sedang diminumnya hampir tersedak oleh ucapan tiba-tiba sahabatnya itu.

“Pelan-pelan minumnya,” balasnya, mencoba menahan tawa.
“Lagian lo gak jelas banget.”
Surya mengusap kasar mulutnya dan menatap tajam Karan.
“Beneran?”
“Apaan?”
“Lo lagi jatuh cinta, fall in love gitu?”
Surya memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan kemerahan di pipinya.

“Sama Anya?”
“Gak tau,” jawabnya singkat.
“Aneh lo. Kenapa bisa suka sama dia?”
“Gak tau,” balas Surya, dengan nada yang agak kesal.
Karan menggeleng, tidak habis pikir dengan jawaban Surya yang menghindar. Ia memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh.

“Gak tau mulu jawaban lo!”
“Ya, gue beneran gak tau, gak ada alasannya. Gue juga gak ngerti kenapa bisa jantung gue berdetak kenceng banget kalo ada dia, mana gue tau kalau setiap dia senyum dibelakangnya tuh seolah kayak ada taman bunga. Gue juga gak paham kenapa kalo sama dia rasanya aman, kayak menemukan tempat dimana lo bisa jadi diri sendiri. Gue gak tau, Kar!” penegasan Surya membuat Karan terdiam cukup lama, merenungkan kata-kata sahabatnya.

“Lo gak apa-apa?” Surya bertanya saat melihat Karan terdiam.
Mendengar tidak ada jawaban dari Karan, Surya melambaikan tangan didepan lelaki itu untuk membuatnya tersadar. Karan sudah kembali sadar dari lamunannya, ia meletakkan tangannya di bahu Surya dengan penuh kehangatan.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang