Bab 19 | Memori Masa Lalu

34 17 0
                                    

"Masih adakah kesempatan untuk kembali?"


Ting!
Surya duduk di atas balok kayu, sementara sinar matahari merosot ke ufuk barat, menciptakan bayangan panjang dari alat konstruksi di sekitarnya. Ponselnya bergetar dalam saku celana kerjanya, memecah kesunyian suasana konstruksi.

Dengan gerakan cepat, ia menyeka keringat dengan punggung tangannya yang terbalut sarung tangan. Surya merogoh saku celananya dan menarik keluar ponselnya, layar cerah memancarkan notifikasi dari pihak sekolah. Hatinya berdegup cepat, ragu dengan isi pesan tersebut. Dengan jari kasarnya, ia membuka pesan dan membacanya perlahan.

"Pemberitahuan Pembayaran SPP: Selamat sore, Surya Malik Mahendra. Kami ingin memberitahukan bahwa pembayaran SPP dua bulan terakhir sudah tercatat. Terima kasih atas keteraturan pembayaranmu. Jika ada pertanyaan, silakan hubungi kami."

Surya membulatkan matanya, wajahnya mencerminkan kebingungan. "Dua bulan terakhir sudah dibayar?" gumamnya, sambil menggaruk pelipisnya yang berkeringat. Pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan, termasuk kemungkinan yang paling mustahil: ayahnya.

Sementara senja merayap, Surya memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya dan menyudahi hari yang penuh teka-teki. Ia mengumpulkan alat-alatnya dan menyimpannya kembali ke dalam toolbox. Debu dan keringat menempel di tubuhnya, sebagai bentuk kerja keras sepanjang hari.

"Anya udah balik?" tanya Surya ketika sampai di apartemen, menyadari hanya dirinya dan Karan yang sedang belajar di atas kasur.

"Udah tadi siang, dia titip salam," jawab Karan dari kamarnya kepada Surya yang baru melepas sepatunya dekat pintu. Ia berjalan ke kamar Karan, duduk di ujung kasur lelaki itu.

Sejenak menatap kosong, kemudian menoleh. "SPP gue udah lunas," ujarnya singkat, tanpa ekspresi apapun.
"Ya bagus dong, lo gak perlu ke konstruksi lagi," tukas Karan santai. Sudah memasuki hari ketiga sejak temannya itu bekerja, Surya selalu meminta Karan untuk menempelkan koyo di bagian belakang tubuhnya. Meski Karan merasa kasihan, karena pekerjaan Surya terlalu berat, ia tidak bisa melakukan apapun, ditambah lagi besok sudah ujian. Jadi, Karan tidak terlalu memikirkan siapa yang membayarnya.

"Ya tapi siapa yang bayar? Bukan lo kan?" tanya Surya dengan nada sedikit mengintrogasi.
Karan menggeleng, "bokap lo kali, kan infonya juga dibagikan ke wali murid,"

Benar, itu juga yang dipikirkan Surya sebelum akhirnya membuang jauh pemikiran itu. Ayahnya tidak pernah peduli dengan hal-hal selain kesenangannya. "Gue hari ini balik deh."
"Lho, kenapa?"
"Buku-buku gue kan banyak di rumah," jawabnya singkat. Sudah cukup lama dirinya pergi dari rumah, mungkin ayahnya sudah tidak semarah kemarin. Surya tidak merindukan pria itu; ia hanya merasa bahwa sekarang mungkin waktunya untuk kembali seperti biasa.

Hari Minggu masih tersisa beberapa jam lagi, hari yang seharusnya menjadi hari tenang bagi para siswa menyambut ujian, tetapi tidak bagi Surya. Malam tadi ia hanya tidur kurang dari lima jam, lalu berangkat menuju konstruksi pagi-pagi sekali sehingga tidak bisa berpamitan dengan Anya. Meski begitu, dalam hatinya ada kebahagiaan sendiri ketika berhasil membawa pulang Anya. Surya hanya berharap masalah yang dihadapi Anya segera selesai agar senyum darinya tidak pernah lagi pudar.

Surya menarik rem motornya, berhenti di depan rumah berwarna biru. Tidak ada yang berubah sama sekali, masih gelap seperti biasanya. Surya melangkahkan kaki memasuki rumah, baru masuk saja sudah disambut oleh bau alkohol yang menyengat. Ia melihat televisi menyala, sepertinya ayahnya ketiduran ketika menonton. Pria itu menelungkup di atas sofa, tetapi tidak ada botol alkohol di sisinya, hanya baunya saja yang entahlah, mungkin sudah menjadi bagian rumah ini.

Sekitar lima belas tahun yang lalu, sejauh yang Surya ingat, ayahnya adalah pribadi yang hangat dan menyenangkan. Apapun yang Surya minta akan selalu dituruti, meski keluarganya bukan dari keluarga kaya, tetapi hampir setiap malam minggu sang ayah membawa Surya ke mall hanya sekadar untuk mandi bola. Ibu Surya memilih untuk tidak ikut karena sudah lelah berjualan sejak pagi hingga petang, lalu membiarkan ayah dan anak itu memiliki waktu berdua dimalam hari. Dulu, ayahnya selalu memiliki pertanyaan konyol untuk diajukan kepada Surya, menjebak anaknya yang selalu tidak bisa menjawab karena jawabannya memang tidak ada.

“Ayah, kok Superman di TV membantu orang terus ya, apa gak capek?” Malam itu, Surya dengan balutan jaket tebalnya duduk di depan sementara arahnya mengendarai motor.

“Hahaha iya ya nak, Superman memang selalu sibuk membantu orang. Tapi, meskipun Superman punya banyak kekuatan, dia juga bisa merasa capek kayak manusia. Rasa sakit dan lelah itu kan bagian dari perjalanan hidup. Kuncinya, kita harus terus belajar aja untuk bangkit dan menjadi kuat setiap kali kita jatuh,” Surya kecil berpikir cukup keras kala itu, ia masih belum terlalu paham apa maksud dari ucapan sang ayah.

“Dalam kehidupan, sebenarnya kita juga bisa menjadi 'Superman' bagi orang lain, dengan cara membantu mereka ketika mereka membutuhkan bantuan. Kalo kita bisa memberikan sedikit kebaikan pada orang lain, maka dunia ini pasti akan menjadi tempat yang lebih baik untuk kita semua. Jadi, kamu jangan takut untuk membantu orang lain ya nak, meskipun itu hanya dengan cara kecil.” Surya dengan helm kecilnya mengangguk, disertai suara tawa khas serak pria yang terdengar jelas bersama deru angin malam itu. Surya masih tidak mengerti, yang ia pahami, dirinya juga bisa menjadi seorang Superman.

Setelah kehilangan kehangatan dari sang ayah, Surya kecil merasa terdorong untuk mencari kekuatan di dalam dirinya sendiri. Di masa kecilnya, ayahnya pernah menjadi figur "Superman" yang memberinya inspirasi dan petunjuk tentang kebaikan serta kekuatan untuk membantu orang lain. Namun, seiring berjalannya waktu, sang ayah berubah menjadi pribadi yang tidak dikenal dan hubungan yang dulu hangat berubah menjadi dingin. Dalam menghadapi ketidakpastian hidup, Surya bertekad untuk menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri, menemukan caranya sendiri untuk mengatasi rintangan, dan menjalani kehidupan dengan tegar.

Surya membuka pintu kamarnya, kamar yang ditinggalkan dalam keadaan berantakan dengan pecahan kaca di lantainya. Kini ia melihat ruangan yang bersih dan rapi, tidak ada pecahan kaca atau barang yang berserakan di lantai. Kasurnya juga sudah berbalut seprei baru dengan gambar Captain America. Tidak ada yang ada di pikirannya selain sang ayah. Akan tetapi, benaknya seakan masih mencoba menyangkal mengingat apa yang dilakukan pria itu padanya.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang