Bab 24 | Under the skies of Jakarta

32 17 0
                                    

"Dia bukan tidak kesakitan, tetapi sudah berdamai dengan keadaan.”


Anya menghirup napas panjang, seolah-olah membebaskan diri dari beban yang menumpuk di dadanya. “Hari ini gue seneng banget deh. Makasih ya, Lik,”

Surya masih serius menyetir, “kenapa makasih?”
“Ya karena lo ngajak ke gue ke panti. Asal lo tau, gue dapet banyak pelajaran hari ini,”

Surya terkekeh dengan suaranya yang menenangkan.
“Gue boleh nanya sesuatu?” tanya Anya, suaranya gemetar tetapi ada sebuah keberanian didalamnya.
“Nanya apa?”
“Lo pernah tinggal disana?” Surya sudah menduga pertanyaan itu.
“Iya,” satu kata singkat yang membuat lidahnya kelu.
“Kalau gue bilang gue mau kenal lebih jauh sama lo, boleh?”

Kali ini, Surya terperangah oleh keberanian Anya yang begitu tiba-tiba. Baginya, seperti seorang yang terdampar di padang pasir, Anya menghadirkan kejutan yang menyegarkan. Sejak kapan ada yang peduli padanya sedalam ini? Bahkan bayang-bayang kebersamaan keluarganya tak mampu menyentuhnya. Tanpa sepatah kata pun, Surya mengemudikan mobilnya ke suatu tempat, mengikuti aliran kejutan yang masih bergelayut di udara, menuju misteri yang baru terbuka di hadapannya.

Di tengah gemerlapnya langit kota Jakarta, mereka tiba di Sky Deck Halte Bundaran HI. Malam semakin meresap, dan langit biru berganti dengan hamparan bintang yang menawan. Cahaya dari gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di sekelilingnya memberikan latar belakang yang dramatis. Di ujung teras Sky Deck Halte Bundaran HI, mereka berdiri, memandang ke langit yang membentang di atas mereka. Lampu-lampu kota yang berkilauan di bawah menciptakan latar belakang yang kontras dengan kedamaian langit malam. Udara malam yang sejuk membelai kulit mereka, disertai dengan semilir angin yang lembut membuat rambut keduanya bergerak perlahan.

“Gue juga mau kenal lo lebih jauh, Ann,”
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya, Anya merasa pipinya memerah, ia bersyukur bahwa itu terjadi di bawah cahaya malam yang memudar.
Entah karena dorongan dari dalam dirinya yang makin kuat atau karena suasana malam yang menenangkan, jantung Anya berdegup kencang di dalam dadanya, seperti kuda pacu yang ingin lepas dari kekangnya.

“Aneh ya?” goda Surya dengan senyumnya yang menggoda.
“Nggak, kok,” balas Anya cepat, mencoba menyingkirkan keanehannya. “What if we tell each other everything we're feeling?”

Surya menyerah, tak lagi bisa menutupi. Tatapannya yang lembut seolah tersesat di dalam kehangatan yang terus berdenyut di mata Anya. Tanpa diduga, lelaki itu melepaskan kemejanya, menunjukkan semua lukisan pahit yang terukir dilengannya, Anya telah menyadari keberadaan itu,  tetapi langkah Surya berikutnya membisuinya. Surya menyingkap kaus putihnya, bukan untuk melepaskan,  melainkan membiarkan Anya melihat lebih jauh, menelusuri setiap goresan luka yang menghiasi punggungnya. Anya terdiam, terkejut melihat Surya yang juga memikul beban luka. Bagaimana mungkin Surya bisa bertahan hingga detik ini?

“Gue pernah jadi anak paling beruntung karena punya keluarga yang harmonis, setiap detiknya hanya diisi oleh kebahagiaan dan canda tawa, bahkan gue sampai berpikir bahwa selagi memiliki mereka, gue gak butuh yang lain didunia ini,” Surya memulai cerita yang sedari tadi membuat Anya penasaran.

“Awalnya semua baik-baik aja, gue bener-bener bersyukur punya ibu yang penyayang dan ayah yang penuh perhatian, sebagai anak tunggal, gue bersumpah kalau waktu itu gue sangat bahagia,” Surya bercerita dengan tatapan sendu yang ia perlihatkan pada langit malam.

Pandangan mata Anya mengikuti nada bicara lelaki disampingnya, ia mendengarkan dengan baik tanpa mengeluarkan sepatah kata. Bukan hanya rasa penasaran yang ada dalam dirinya, tetapi juga kebenaran soal ucapannya yang ingin mengenal lebih jauh tentang Surya.

“Gue inget hari itu, hari minggu. Pas banget gue baru bangun tidur, gue dengar ayah dan ibu berdebat didapur, mereka saling teriak ngomongin hal yang gak gue pahami waktu itu,”

“Gue nangis. Gue samperin mereka dan mencoba untuk menengahi, tapi waktu itu ibu bentak gue, ibu yang gak pernah marah itu bentak gue untuk kembali ke dalam kamar, gue nurut. Di dalam kamar gue cuma bisa nangis dan berharap ini cuma mimpi, karena perlahan mereka saling adu argumen dan di akhiri oleh ibu yang bilang dirinya akan pergi dari rumah dengan membawa gue,”

“Disitu gue meyakinkan ibu untuk tetap tinggal, tapi pada akhirnya kami pergi ninggalin ayah yang masih diam dan gak mencoba untuk menahan. Ibu bawa gue ke panti asuhan itu, dia bilang kalau dia gak bisa membawa gue ikut bersamanya, dia menjanjikan satu hal, bahwa dia akan kembali untuk jemput gue, lagi-lagi gue cuma bisa nangis dan ngeliat ibu yang perlahan pergi menjauh,” ucap Surya, sambil menarik napas berat.

“Dua tahun gue hidup dipanti dengan semua dendam yang gue bawa, gue benci kehidupan gue saat itu juga, gue berkali-kali mencoba untuk mati tapi… tapi selalu gagal. Gue gak mau sekolah ataupun belajar, cuma mau nunggu dijemput oleh ibu yang nyatanya gak pernah datang. Tapi, ditahun berikutnya, disaat gue mulai terbiasa dengan suasana panti dan orang-orangnya, ayah jemput gue, mungkin waktu itu ibu yang ngasih tau keberadaan gue,”

“Gue seneng bukan main, Ann. Ayah bawa pulang gue ke rumah, ayah juga kembali menyekolahkan gue meskipun gue udah gak sekolah selama tiga tahun. Ada satu hal yang gue sadari, kalau ayah bukan lagi orang yang gue kenal, dia berubah, jadi suka mabuk-mabukan dan berjudi. Meski dirumah yang sama, kehangatan yang dulu udah gak pernah ada lagi,”

Lelaki itu memalingkan wajahnya ke arah Anya, yang masih terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Sorot mata Anya kemudian beralih ke punggung Surya yang kembali tertutup. Surya kemudian mengangguk, seolah-olah memahami apa yang ingin disampaikan Anya.

“Ayah sekarang udah berubah menjadi kasar. Dia menjadikan gue sebagai pelampiasan setiap kali dia kesal karena kalah judi. Gue seperti menjadi sandbag bagi kemarahannya. Meskipun menyakitkan, tapi setidaknya masih ada ayah di sisi gue, dia gak pernah ninggalin gue.”

“Ayah bilang, selama ini ibu berselingkuh dengan teman SMA-nya yang juga teman ayah. Dan waktu itu, ibu hamil karena perselingkuhannya. Gue paham kenapa ayah begitu marah saat itu, hal yang lumrah, kan?" Suara Surya penuh dengan kepedihan yang teramat dalam.

Surya menceritakan kisah kelam itu tanpa menunjukkan ekspresi emosional yang berarti. Anya berpikir, bagaimana bisa Surya terlihat begitu biasa mengingat kenangan pahit itu. Bagi Surya, mungkin tidak ada gunanya terus-menerus merasa sedih. Awalnya, dia punya dendam pada dunia, tetapi kemudian menyadari bahwa roda kehidupan terus berputar. Meski jauh dari situ, Surya masih merasakan rasa sakit yang tak bisa dihindari.

"Sekarang semuanya udah membaik, setidaknya gue ngga lagi mencoba mengakhiri hidup," lanjutnya.
Saat Surya menyelesaikan ceritanya, Anya melihatnya dengan mata berkaca-kaca. Bulir air mata mengalir di pipinya yang lembut. Anya tidak bisa merespons, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia menyadari bahwa dibandingkan dirinya yang masih memiliki keluarga utuh, Surya sangatlah hebat karena bisa bertahan sampai detik ini, menghadapi cobaan hidup yang begitu berat.

“Kenapa lo yang nangis? Maaf ya, gue gak bermaksud—”
Melihat Anya yang tiba-tiba merenggangkan kedua tangannya berhasil menginterupsi kalimatnya, perempuan itu masih menangis tapi dirinya menawarkan sebuah kehangatan yang Surya cari selama bertahun-tahun.

I don't know what to say, but I offer that I'm here. Jadi kalau lo mau—”
Belum juga ia menyelesaikan kalimatnya, lelaki itu sudah menghambur ke pelukannya. Meski ukuran tubuh Anya tidak lebih besar darinya, ia merasa dirinya direngkuh begitu hangat oleh perempuan itu. Di tengah badai yang selama ini melanda hidupnya, malam itu seakan tubuhnya diselimuti oleh kehangatan yang sudah lama ia cari. Anya mengusap lembut pucuk kepalanya, membiarkan keheningan malam membersamai mereka selama beberapa menit.

“Apapun yang udah lo lewati selama ini, you did well, Lik.”

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang