Bab 32 | Bayangan Masa Lalu

39 21 3
                                    

"Dia tetap ibu yang dulu, satu hal yang tidak berubah.”


Surya duduk di sudut kafe, tenggelam dalam suasana yang tenang. Meja kayu cokelat gelap di depannya menghadap jendela, membiarkan cahaya pagi masuk dengan lembut. Sudut ini dipilihnya untuk sedikit privasi, memungkinkannya merenung dan bersiap untuk pertemuan yang akan datang.

Kafe terasa hidup dengan aroma harum kopi yang menyelimuti udara. Wangi kopi yang khas menciptakan suasana hangat dan nyaman, membangkitkan kenangan indah masa kecilnya di kafe serupa bersama ibunya. Meskipun demikian, rasa tegang mulai menyelinap ke dalam dirinya, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan yang akan datang dan percakapan yang akan mereka jalani.

Ketika pintu kafe terbuka, Surya mengangkat kepalanya dan memperhatikan datangnya seorang wanita. Perhatiannya jatuh ketika dia melihat wajah yang begitu dikenalnya, seorang wanita yang telah lama tidak ditemuinya. Senyum lembut terukir di wajah Surya saat mata mereka bertemu, dan dalam pandangan itu, terdapat kehangatan yang lama ditunggu-tunggu. Itulah ibunya, wajah yang tak pernah pudar dari ingatannya. Wanita itu datang dengan membawa anak perempuan kecil yang terlihat berusia sekitar empat tahun, digendong dengan lembut di lengannya.

Mereka saling bertatapan, mata Surya penuh dengan rasa haru dan kebahagiaan ketika ibunya mendekat. Surya melihat betapa cantik ibunya, dengan senyum yang hangat dan tatapan lembut yang begitu dikenal. Sedangkan anak perempuan kecil yang digendong ibunya, dengan rambut pirangnya yang tergerai dan senyum polosnya. Ia bangkit dari kursinya, mendekati ibunya dengan langkah-langkah gemetar. Saat mereka merangkul satu sama lain dengan erat, seolah ingin menangkap setiap detik kebersamaan yang telah lama terlewatkan. Rangkulan itu menggambarkan rasa rindu yang dalam, dan dalam dekapan itu, Surya merasa seperti pulang ke pelukan yang paling nyaman di dunia.

"Ibu, terima kasih sudah mau bertemu denganku," ucap Surya dengan suara lembut, duduk kembali di kursinya
Sebelum memasuki pembahasan yang lebih dalam, ibu memperkenalkan anak perempuannya kepada Surya. "Ini Emily, tahun ini umurnya 4 tahun," sementara Emily duduk manis di pangkuan ibunya, menatap Surya dengan rasa ingin tahu, Surya menyambutnya dengan senyum hangat.

"Jadi gimana? Kamu sudah memikirkan tawaran ibu?" tanya ibunya seraya memulai topik inti mereka.
"Ya, Ibu. Aku sudah mempertimbangkan dengan baik. Bagi aku, itu artinya keluarga baru ibu menerima kehadiranku dengan tangan terbuka."

"Surya, Nak," ujar ibu dengan rendah, "Ibu harus jujur tentang rencana kami. Sebenarnya, Papa membelikan kamu rumah terpisah, di samping rumah kami."

Surya merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat, dan ekspresi kegembiraannya langsung berubah menjadi kebingungan. "Rumah terpisah?" tanyanya dengan nada yang penuh kekecewaan.

Ibu mengangguk pelan. "Iya, Nak. Itu keputusan yang kami pikirkan bersama. Kami ingin kamu dekat dengan kami, tetapi Papamu belum sepenuhnya menerima kamu."
Rasa sakit menusuk hatinya begitu mendengar penjelasan itu.

Surya diam seribu bahasa, ia tidak tahu lagi apa yang harus keluar dari mulutnya. Lelaki itu mengusap kasar wajahnya, menatap sang ibu begitu tajam.

“Ibu jemput Surya karena memang ingin Surya tinggal bersama ibu atau ibu cuma sekadar menepati janji ibu dulu? Kalau begitu gak ada bedanya Bu dengan aku di sini, aku akan selalu kesepian. Tapi di sini aku punya ayah dan teman-teman. Sementara di sana aku harus mengemis kasih sayang ibu yang pastinya lebih besar untuk keluarga baru ibu,”

“Bukan maksud ibu begitu,”
Surya tersenyum sarkas. “Ternyata keputusan aku untuk tetap tinggal itu tepat ya. Aku heran dengan kedatangan ibu yang tiba-tiba minta aku untuk ikut ke Amerika. Aku kira ibu benar-benar mau jemput aku dan memberikan kasih sayang yang selama ini nggak aku dapatkan. Tapi ternyata aku cuma sebatas ingatan masa lalu yang tiba-tiba lewat dipikiran ibu,”

“Ayah memang bukan orang yang bisa menunjukkan rasa kasih sayangnya, tapi setidaknya ayah nggak pernah ninggalin aku seperti ibu,” ucapnya dengan nada pahit.

Wanita di depannya tetap bungkam, seolah mengiyakan kata-kata Surya tanpa sepatah kata pun. Surya menyesap kopinya dengan hati yang berat, “Ibu tenang saja. Sekarang aku anggap ibu gak pernah menjanjikan apapun, jadi ibu bisa tenang tanpa harus kepikiran bagaimana caranya menepati suatu hal yang enggan ibu lakukan,” katanya lalu meninggalkan kafe dengan langkah ringan.

"Malik, bisa kita ketemu? Ada sesuatu yang ingin gue omongin,"

Surya menggenggam ponselnya dengan gemetar, matanya membulat sempurna saat menatap layar yang terang. Sebuah pesan singkat dari Anya muncul, berisi ajakan untuk bertemu.

Detak jantungnya berdegup tak beraturan, dan rasa gugupnya semakin meningkat seiring dengan setiap kata yang terbaca. Apa yang mungkin ingin dibicarakan Anya dengannya? Pikiran Surya mulai melayang ke berbagai kemungkinan, mencoba menerka isi pesan tersebut.

"Boleh, Ann. Kapan?" balasnya.
"Besok sore, di taman Suropati. Jam 4 sore gimana?"
“Oke,” jawabannya memang singkat, tetapi Surya sungguh penasaran apa yang akan terjadi besok.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang