Bab 12 | Taman Suropati

40 17 0
                                    

“Cara pandangnya yang unik mengubah dunia menjadi tempat yang indah dan penuh kebahagiaan, berhasil membuat lelaki itu tertawa dan merasakan kebahagiaan di setiap detiknya.”


Sejak peristiwa kemarin, baik Karan maupun Surya, keduanya tetap bungkam. Karan mencoba memahami bahwa Surya mungkin membutuhkan ruang untuk sendiri, sementara Surya masih terhimpit oleh rasa bersalah yang tidak bisa diungkapkannya karena terkendala oleh gengsi setinggi tembok Cina.

Surya memutuskan untuk tidak bergabung dengan teman-temannya yang lain. Ia lebih memilih menghabiskan waktu istirahat di gedung belakang sekolah, mendengarkan lagu-lagu One Direction sambil membaca komik, sesekali menghisap rokok yang sudah tidak terhitung berapa batang sejak tadi.

"Bener kan, ternyata lo di sini."
Lelaki itu menoleh, mendapati seorang perempuan yang sedang berkacak pinggang mendekat ke arahnya. Perempuan itu duduk di sampingnya.

“Setelah berhari-hari gak masuk, sekalinya masuk malah nyuekin semua orang,”
Surya masih belum membuka mulut, menyadari bahwa beberapa hari ini ia benar-benar sensitif terhadap teman-temannya.

“Lo tuh silent treatment, tau gak?”
“Lo ngapain di sini?” hanya pertanyaan itu yang ada di pikirannya. Ia malas menanggapi sebenarnya.

“Gue kan pernah bilang, kalo ini hidden game yang gue temuin. Selain itu… gue tau kok, malem itu lo kan?”
Anya menatap Surya seolah terciduk melakukan sesuatu. Lelaki itu tersentak, tetapi dengan cepat wajahnya kembali seperti semula, tanpa ekspresi.

“Kok lo tau?”
Anya tertawa kecil. “Suara lo, terus…” ia menunjuk bawah mata kirinya, “tahi lalat lo,” ujarnya. Perempuan itu biasanya tidak terlalu memerhatikan sesuatu yang menurutnya tidak menarik; Anya seringkali lupa berbagai hal hanya karena hal tersebut tidak menarik perhatiannya. Akan tetapi, ia langsung mengenali suara lelaki itu, meski baru berbicara panjang lebar saat festival. Mungkin karena ucapan Surya waktu itu masuk ke hatinya.

“Makasih ya, Lik,” Senyumnya merekah, kalimatnya tanpa sadar membuat Surya memerah. Ini pertama kalinya ia dipanggil seperti itu, terlebih lagi senyuman perempuan itu terlihat begitu cantik dilihat dari sisi kanannya.

“Bukan apa-apa,” Surya memalingkan wajahnya, berusaha untuk tidak melihat Anya yang semakin membuatnya merasa aneh.

“Lik, Malik, Malik…” karena lelaki di sampingnya itu tidak acuh padanya, Anya terus memanggilnya berkali-kali hanya untuk membuat Surya menghadap ke arahnya.

“Apa?”
“Gue di sini, lo liat apaan sih, Malik?”
“Stop panggil gue kayak gitu,”
“Kenapa?” tidak ada jawaban, tetapi sudut bibir perempuan itu terangkat. Anya memang tidak mendapat jawaban dari Surya, tetapi ia bisa melihat telinga lelaki itu yang sudah memerah. Apakah dia malu? Batin Anya.

Melihat hal itu membuat Anya justru makin ingin menggoda Surya, tetapi sepertinya bukan waktu yang tepat untuk itu. Niatnya kesini adalah untuk berterimakasih padanya yang beberapa hari lalu sudah menolongnya dari Rocky.

“Lo bawa motor kan?” Anya melemparkan pertanyaan yang langsung membuat Surya menatap ke arahnya.
“Bawa, kenapa?”
“Bolos yuk!” Wajah Anya seolah-olah tidak menampakkan dosa setelah mengajak Surya melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan oleh murid teladan sepertinya.

Surya mengangkat alisnya, kebingungan terpancar dari wajahnya, “lo serius?”

Perempuan itu mengangguk, “iya, Lik. Gue minta izin sama Kenzo buat ke UKS. Ravinka juga bilang kalo kelas lo gurunya gak masuk, gimana? Mau ya?”

“Lo yakin?” Surya tidak keberatan kalau dirinya yang membolos, tetapi Anya adalah salah satu murid terbaik di sekolah. Tidak mungkin ia bisa membawa pergi Anya begitu saja.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang