Bab 2 | Bintang untuk si bulan kesepian

94 34 4
                                    

“Bintang kesepian menemukan jalan menuju kecerahan saat bulan mengundangnya untuk bersinar bersama dalam tarian langit yang indah.”


Kecantikan adalah anugerah yang membawa hak istimewa di sekitarnya. Akan tetapi, tak peduli seindah apa fisik seseorang, kepribadian yang kontras dapat membentuk pandangan negatif dari orang lain. Anya Kaolla Abigail, pemilik segala keelokan, menjadi pusat perhatian laki-laki di sekolahnya. Pesonanya yang seakan menyimpan bintang di kedua mata hazelnya, hidung yang menjadi impian banyak orang, dan bibir lower lips yang memukau. Rambut panjangnya selalu beraroma strawberry, menaklukkan siapa pun di sekitarnya. Tinggi badannya yang nyaris mencapai 170 cm menjadikannya potensi model majalah yang memukau. Keelokan ini membuatnya bersinar di tengah kerumunan.

Setiap waktu istirahat, Anya jarang pergi ke kantin bersama teman-temannya. Ia lebih suka menikmati waktu di kelas, mengobrol panjang lebar, dan hanya sesekali mampir ke kantin. Hal tersebut jarang terjadi, karena setiap harinya, Anya sudah dibanjiri jajanan dari orang-orang yang mengaku sebagai penggemarnya. Bersama Kenzo, ia menempati kelas yang berbeda dengan teman-temannya; oleh karena itu, biasanya mereka yang akan datang ke kelas sebelah.

Seperti hari ini, Anya melihat seisi ruang kelas, di mana ia hanya menemukan Surya, Kana, dan dua orang lain yang terlelap di meja.

“Ravinka sama Karan ke mana, Na?” Anya meletakkan beberapa makanan di atas meja, di depan Kana yang tengah mencatat pelajaran.

“Ke kantin. Ravinka pengen bakso katanya,” jawab Kana yang disertai anggukkan oleh Anya. Dia mulai mengeluarkan makanan dari kantong, memenuhi meja dengan berbagai hidangan.

“Istirahat tuh waktunya makan, Na. Nanti lagi aja nyatetnya, kan lo rekam di hp juga. Kerajinan lo,” sindir Anya sambil menutup buku catatan Kana. Gadis berkacamata di depannya hanya diam mengikuti. Kana memang anak yang rajin, selalu mencatat pelajaran dengan baik, bahkan merekam penjelasan guru untuk didengarkan kembali di malam hari agar lebih mudah diingat.

“Sepupu lo mana? Biasanya ngintil dibelakang lo,” tanya Kana setelah mengunyah sepotong ciki ball.
“Tadi sih bilang ke toilet, paling bentar lagi dateng,” Kana hanya mengangguk mendengar jawaban Anya. Sebenarnya, kehadiran atau ketiadaan Kenzo tidak terlalu penting bagi Kana. Kalau tidak datang justru bagus karena dirinya tidak perlu mendengar tebak-tebakan aneh yang akan keluar tiap kali laki-laki itu berbicara.

Sementara dua gadis itu tengah asyik berbincang, Surya, yang sejak tadi diam-diam mendengarkan, fokus dengan dunia gamenya. Obrolan mereka hanya masuk dari satu telinga dan keluar dari telinga yang lain, seolah tak menggugah perhatiannya. Akan tetapi, Anya yang sesaat menyadari keberadaan Surya, menelengkan kepala dengan lembut, berusaha menangkap tatapan laki-laki yang duduk di belakang Kana, tak ada balasan. Surya hanya memberikan fokusnya pada dunia game yang dihadapinya bagaikan hidup dan mati.

Keheningan memenuhi ruang selama beberapa menit. Tanpa ragu, Anya memutuskan untuk mengambil sepotong roti coklat dan sebotol minuman isotonic.
“Lo gak ke kantin?” ucap Anya dengan suara lembut, mengusik perhatian Surya yang tengah asyik dengan pikirannya. Ia mendongak, tanpa sengaja terpaku pada mata jernih berwarna hazel milik Anya.

Gadis itu terlihat heran, lalu mendaratkan sebotol isotonic dingin di pipi Surya, mencoba membangunkan lelaki itu dari lamunannya.
“Lo gapapa?” tanya Anya dengan penuh perhatian.
Surya menelan ludah, “Iya, gapapa,”

Selama ini, percakapan mereka terhitung sedikit. Pertama, di masa SMP, saat itu Anya memperkenalkan diri sebagai murid baru. Kedua, pertemuan di luar sekolah yang tak terduga, Surya yang sudah berusaha menghindar agar tidak terjadi kontak mata, malah menangkap lambaian tangan Anya padanya yang seakan menciptakan kecanggungan baginya. Ketiga, di kelas 10, ajakan dari Karan untuk menemui Kenzo— ada Anya yang sedang menonton televisi— Anya bertanya tentang kabar mereka, meskipun saat itu Karan yang mendominasi percakapan. Keempat, saat ini.
"Roti sama minuman, buat lo."
"Eh, gausah, gue ga laper."
"Dikasih tuh gaboleh nolak tau, dosa lho," ujarnya sambil mengangkat jari telunjuk seraya menakut-nakuti Surya, kemudian berbalik meninggalkan laki-laki itu. Sejenak, harum aroma strawberry menusuk masuk ke dalam hidungnya, membuktikan kebenaran perkataan Karan beberapa hari lalu. Saat itu, Karan membicarakan tentang kue strawberry yang mereka beli di bakery, dan dengan spontan berkomentar, “Aromanya kayak rambut si Anya.”

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang