"Terkadang, deja vu adalah cara alam memberi tahu kita bahwa kita sedang berada di jalur yang benar, meskipun kita merasa seolah-olah telah melihatnya sebelumnya."
-
Setelah menunda pertemuan dengan Rocky kemarin, keduanya setuju untuk bertemu hari ini. Anya telah meminta Pak Wahyu menyiapkan mobil Honda HR-V berwarna merah metalik yang biasa digunakannya untuk hangout. Beberapa menit sebelumnya, Rocky menghubungi Anya untuk mengendarai mobil itu sendiri dan menjemputnya. Namun, Anya menolak tawaran tersebut. Bukan hanya karena dirinya tidak memiliki SIM, tetapi Anya tahu bahwa maksud dari permintaan Rocky adalah agar lelaki itu bisa berlagak seolah-olah mobil itu miliknya. Dia akan mencoba mengesankan teman-temannya dan mengklaim bahwa dia sendiri yang telah menjemput Anya untuk berkencan bersamanya.
Anya membuka pintu mobil, lalu duduk di kursi penumpang di belakang Pak Wahyu. Malam ini, perempuan itu mengenakan dress berwarna merah yang membuatnya terlihat lebih dewasa. Sling bag berwarna krem menggantung di bahu kirinya, memberikan kesan yang cukup menyentrik.Dalam waktu lima belas menit, mereka sudah bisa melihat lelaki itu menunggu di depan pagar, sambil terus menatap ponselnya-mungkin untuk menghubungi Anya.
Kaca jendela mobil terbuka, Anya mengeluarkan kepalanya untuk menyapa Rocky. Terlihat ekspresi penuh tanya di wajahnya. Ia pura-pura tidak memperhatikan dan tidak terlalu peduli pada lelaki yang jelas sekali ingin mendapatkan penjelasan dari perempuan itu karena membawa sopir, alih-alih mengemudi sendiri.Malam itu, suasana Jakarta di Kemang Village terasa hangat dengan semilir angin yang membawa aroma kopi yang menggoda. Mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu di Liberica Coffee. Tadinya, Pak Wahyu ingin memarkirkan mobil mereka di depan kafe, tetapi Anya memintanya untuk pulang dan akan menghubunginya lagi nanti.
Dengan senyuman di wajah mereka, keduanya memasuki kafe yang dihiasi oleh lampu hias. Mereka memilih duduk di dekat pintu, ruangan itu dikelilingi oleh aroma harum kopi yang menguar di udara.
Rocky memesan segelas americano, sementara Anya lebih memilih mencoba kopi manual brew yang direkomendasikan oleh barista. "Kopi di sini enak, kan?" ujar Rocky, mencoba memecah keheningan.
Anya mengangguk, tetapi matanya tampak ragu. "Kak, aku mau ngomong serius." Suaranya halus, tetapi membawa getaran kekhawatiran.
Rocky mengangkat alisnya dengan heran. "Mau ngomong apa? Sok aja."
Anya menggigit bibirnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Ini bukan karena kamu, Kak. Ini karena aku. Aku rasa... aku rasa kita harus berhenti di sini."Rocky menatap Anya dengan keterkejutan. "Berhenti? Tapi kenapa?"
Anya mengakui dengan suara terbata-bata, "Kak, sebenarnya selama ini aku cuma main-main. Aku gak pernah benar-benar suka sama kamu."
Lelaki itu merasa dunianya runtuh. Tatapannya memandang Anya, mencoba mencerna kata-kata itu. Sementara kemarahan mulai memuncak di dalam dirinya. "Kamu serius, Nya? Jadi kamu cuma mempermainkan aku?"Perempuan itu mengangguk, berusaha menghadapi ekspresi kemarahan Rocky. "Maaf, Kak. Aku emang egois. Tapi lebih baik kita berhenti di sini sebelum akhirnya semakin menyakitkan,"
Rocky merasa darahnya mendidih. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik tangan Anya dan membawanya keluar dari kafe. Keduanya berjalan menuju tempat yang lebih sunyi, sementara suasana antara mereka semakin dipenuhi ketegangan.
Di sisi kafe yang cukup sepi, Rocky melepaskan cengkramannya dan berbalik menghadap Anya. Wajahnya merah padam, dan matanya memancarkan kemarahan. "Maksud lo apa main-main? Lo pikir ini lucu, ya?"
Anya hanya menunduk, tidak berani menatap lelaki itu, nada suara Rocky semakin keras. "Lo tau Nya, gue juga gak sesuka itu sama lo, lo itu gampangan, you're a whore." Mata Anya membulat sempurna, ia mengangkat kepala untuk menatap Rocky tajam seolah menyimpan dendam yang tak bisa ia salurkan. Sebaliknya, lelaki itu tertawa merendahkan. "Kenapa? Benar, kan? Udah tidur sama berapa cowok, hah?"
"Cukup Rocky!" Perdebatan mereka semakin memanas. Tangan lelaki itu terangkat, tampak siap memberikan sebuah tamparan.
Tepat beberapa detik sebelum Rocky mendaratkan tangannya pada wajah Anya, seseorang menahan tangannya, "hey, tenang! Kita bisa selesaikan ini tanpa kekerasan!"
Lelaki dengan pakaian tidak biasa itu menahan tangan Rocky, membuatnya menatap tajam lelaki asing itu, "gak ada urusannya sama lo, orang aneh!"
Merasa tidak punya pilihan, lelaki itu mencoba meredakan situasi dengan memberikan tawaran. "Gimana kalau kita selesaikan ini dengan cara damai? Gak perlu bertarung."
Namun, Rocky yang masih dipenuhi gejolak amarah menolak tawaran itu. "Kalo lo gak mau celaka, lebih baik pergi!" Tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan, ia dengan cepat melontarkan tinjunya ke arah lelaki itu.Lelaki itu berhasil menghindar dari pukulan pertama Rocy, tetapi ia tidak bisa mengimbangi kecepatan dan kekuatan pukulannya. Rocky terus menghujaninya dengan serangan tanpa ampun, membuatnya terdesak dan hampir jatuh. Anya ketakutan, tetapi ia berusaha mencoba melerai pertarungan, meskipun tidak berhasil karena Rocky semakin terobsesi untuk menunjukkan kekuatannya.
"Salah lo sendiri ikut campur urusan gue!" teriak Rocky, masih penuh kemarahan.
Wajah lelaki itu tampak berkeringat, jelas sekali ia tidak bisa berkelahi. Sementara itu, pertarungan terus berlanjut, hingga lelaki itu akhirnya terhempas ke tanah dengan kelelahan. Setelah merasa puas dengan kekuatannya yang berhasil ia perlihatkan, Rocky meninggalkan lelaki itu dan pergi tanpa berkata apa-apa.Sementara lelaki itu mencoba bangkit, Anya mendekatinya dengan ekspresi prihatin. "Lo gak apa-apa?"
Lelaki itu tersenyum lemah, "gue baik-baik aja," Anya melihat adanya luka memar di wajah dan tubuh lelaki itu. Meskipun ia mencoba meredamnya dengan senyuman, Anya tak bisa menahan kekhawatirannya. "Ayo duduk di sana sebentar,"
Mereka memilih duduk di area outdoor Liberica Coffee. Di bawah cahaya lampu-lampu gemerlap, Anya mencoba berbicara dengan lelaki itu, "lo emang berusaha membantu, tapi gue gak enak karena lo luka demi gue."
"Gue beneran gak apa-apa,"
Anya menggelengkan kepala, "tunggu sebentar, gue mau cari apotek terdekat untuk bersihin luka lo,"Sementara Anya mencari apotek, lelaki itu duduk sendiri di luar kafe sambil sesekali meringis karena luka yang dirasakannya. Pemandangan malam yang tenang dan aroma kopi yang menyenangkan membantu meredakan rasa sakitnya. Lelaki itu menunggu cukup lama, mungkin memang tidak ada apotek dekat sini, pikirnya.
Anya kembali dengan perban dan antiseptik yang ia bawa di tangannya, ia menuangkan alkohol pada kapas, dengan hati-hati menyentuhkannya pada luka di dekat bibir lelaki itu. "Gue minta maaf ya. Gara-gara nolongin gue, lo jadi kena imbasnya," ucap Anya dengan penuh perhatian.
Lelaki itu tersenyum menghibur, "Gak apa-apa. Gue juga berterimakasih lo udah nolong gue kayak gini,"
Anya dengan hati-hati membersihkan luka-luka kecil di wajah dan tubuh lelaki itu. Meskipun rasanya perih, lelaki itu tetap bersikap sabar. Setiap sentuhan Anya, seolah-olah menghapus sedikit rasa sakit yang dirasakannya."Lo ksatria kah? Atau lagi ada acara?" tanya Anya sambil menyelesaikan perawatan sederhananya.
Lelaki itu tampil dengan kostum Guren Ichinose, karakter utama dari anime "Seraph of the End". Kostum Guren yang ia kenakan menampilkan seragam militer khusus dengan aksen hitam dan merah yang mencolok. Kerah tinggi yang elegan dan lapisan baju yang dipilih dengan presisi memberikan kesan kemewahan dan kekuatan. Sarung tangan hitam yang dipadu dengan mantelnya memberikan sentuhan serius pada penampilannya, sepatu bot hitam yang kokoh melengkapkan setiap detail kostumnya. Gesper atau aksen khusus pada sepatu ini menambahkan sentuhan desain yang menarik.Lelaki itu tertawa pelan, "gue baru aja dari acara coswalk di Lippo Kemang. Niatnya sih mau jalan-jalan di sekitar sini setelah acara. Tapi malah ngeliat situasi kayak barusan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fearless (selesai)
Romance- Di sudut kota yang berkilau dan gemerlap, terdapat dua dunia yang bertabrakan namun saling melengkapi. Dua sosok yang hidup dalam realitas yang berkebalikan, terjerat dalam takdir yang tak pernah mereka bayangkan. Dalam sorotan cahaya kemewahan, A...