Bab 7 | Sebuah Strip Foto

54 30 0
                                    

"Terkadang, kehidupan menyajikan kejutan yang tak terduga di tengah arusnya yang terus mengalir."


"Lo masih mau disini atau—"
"Gue ikut," ujar Anya sebelum Surya menyelesaikan kalimatnya. Ia berdiri, berjalan mengikuti Surya dari belakang.
Kana yang kebetulan sedang menjaga stand melambaikan tangannya ketika melihat Anya dengan Surya.

"Sini!" ujar Kana dari kejauhan, Anya berlari kecil menghampiri Kana.
“Wih, osis buka stand apa nih?”
“Photobox. Cobain yuk!” ajaknya, ia langsung meraih tangan Anya mengajaknya masuk ke dalam ruang kelas yang sudah di dekorasi mirip dengan ruangan photobox asli.

Ruang photobox ini diatur dengan rapi. Di tengah ruangan, terdapat kamera fotografi yang ditempatkan pada tripod yang kokoh. Kamera ini dilengkapi dengan lensa berkualitas tinggi, siap untuk menangkap setiap detail dengan tajam. Pencahayaan yang disusun dengan cermat mengelilingi area pengambilan foto, terdiri dari lampu-lampu khusus yang dapat disesuaikan intensitasnya. Setiap sudut ruangan diterangi dengan cahaya yang merata, menghilangkan bayangan yang tidak diinginkan pada objek atau model. Kursi yang nyaman diletakkan di salah satu sudut, siap digunakan oleh model atau subjek yang akan difoto. Sebuah komputer dan peralatan pemrosesan foto ditempatkan dekat dengan area kerja, memungkinkan fotografer untuk langsung mengedit dan meninjau hasil foto.

Dekorasi ruangan mengikuti tema festival, dengan latar belakang warna-warni yang mencerminkan kegembiraan dan semangat kreatif. Para pengurus OSIS telah menyusun berbagai properti menarik dan properti tambahan, seperti topi, kacamata, dan atribut khas festival, untuk menambah keseruan dan keunikan setiap foto. Seorang fotografer yang ahli, yang berasal dari ekskul seni atau fotografi di sekolah, berada di sana untuk membimbing siswa dan memastikan setiap foto terlihat sempurna.

Surya yang sudah hendak pergi ketika Kana dan Anya mengamati setiap sudut ruang kelas, lengannya ditahan oleh Kana, menarik paksa lelaki itu untuk ikut foto bersama mereka. Anya memilih sebuah jubah berwarna hitam, sebuah topi penyihir dan tidak lupa dengan tongkat sihirnya, sedangkan Kana hanya memakai kacamata berbentuk bunga. Sementara itu, Surya—dipaksa—memakai sebuah topi hitam yang biasa digunakan pesulap dan sebuah kacamata hitam.

Foto pertama berhasil menampilkan Anya yang seolah-olah sedang menyihir kamera dengan gaya menunjuk ke arah lensa menggunakan tongkatnya. Kana, seperti kebanyakan orang, mengangkat kedua jari telunjuk dan jari tengahnya, sementara Surya—kaku—mengadopsi pose andalan bapak-bapak dengan mengangkat jempol.

“Ayo ganti gaya,” ujar Anya.
“NA, STAND DEPAN NGGAK ADA YANG JAGA!” teriakan seseorang dari luar membuat Kana menoleh, “gue kesana,” ujarnya.

“Gue pergi dulu ya, ini satu strip isi 3 foto harganya 20.000, oke?” Gadis itu melepaskan aksesorisnya dengan tergesa-gesa, kemudian meninggalkan Anya dan Surya yang kini dibaluti atmosfer kecanggungan.
“Jadi gimana, Nya?” ujar seorang laki-laki yang bertugas menjadi fotografer.
“Lanjutin aja,”
Ia mengajari Surya untuk memberikan gaya yang lebih ceria saat difoto. Foto kedua berhasil menampilkan keduanya yang kompak menyilangkan tangan di depan dada dengan pose seakan saling membelakangi, namun pandangan mereka tetap mengarah pada kamera. Pada foto terakhir, sebenarnya diambil secara acak karena fotografer terlalu lama menunggu Anya mengajari Surya sesuai dengan konsep yang diinginkannya. Sang fotografer, yang merupakan salah satu penggemar Anya, kesal dan menganggap bahwa Surya berpura-pura tidak mengerti pose yang dijelaskan untuk menarik perhatian perempuan itu.

“Eh, foto terakhirnya lucu gak sih?” Anya tersenyum lebar ketika mendapati strip fotonya yang sudah tercetak setelah menunggu beberapa menit. Surya yang juga sedang melihat strip tersebut hanya bergidik ngeri, mendapati wajahnya dalam foto yang menurutnya aneh.

Surya duduk di sudut kamarnya, matanya terpaku pada selembar foto yang telah menjadi pusat perhatiannya sejak tadi. Foto itu menampilkan momen kebersamaannya dengan Anya, diambil dalam suasana yang terlihat begitu alami dan spontan. Akhirnya, dengan gerakan hati-hati, ia menempelkan foto tersebut di dinding, di antara kumpulan foto lainnya yang menampilkan kenangan indah bersama teman-teman dan tim sepak bolanya. Di tengah kemeriahan pertandingan sepak bola yang berhasil dimenangkan sore tadi, foto terakhir itu menjadi penanda momen istimewa antara dirinya dan Anya, di mana keceriaan mereka tercermin dalam tawa yang terekam dengan begitu sempurna.


"Oke, sekarang kita pose jadi bintang film aksi. Action pose!"
"Jadi kayak superhero gitu?"
“Iya, udah cepetan.” Tidak seperti Anya yang berpose seakan-akan akan terbang ke langit, Surya justru menunjukkan pose mengangkat tangan yang dikepal, membuat Anya menoleh lalu tertawa.
“Gue nyuruh pose superhero, lo malah memperagakan super dede,” ujarnya. Superdede adalah sebuah serial televisi tentang superhero Indonesia yang cukup terkenal di zamannya. Sang fotografer, yang sudah geram memotret asal-asalan foto keduanya, justru mendapati hasil yang bagus. Surya jarang sekali tersenyum lebar seperti itu, membuatnya merinding ketika melihat wajah anehnya yang sedang tersenyum.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang