Bab 31 | Dibalik Sikap Anya

37 21 3
                                    

"Kekhawatiran merupakan bayangan yang kita ciptakan sendiri.”


Kejadian malam itu telah merenggangkan hubungan antara Surya dan Anya. Setiap kali Surya melihat Anya memperhatikannya, Anya selalu segera memalingkan wajahnya, seolah-olah berusaha menghindari kontak mata dengannya. Bahkan, ia juga menghindari segala bentuk komunikasi dengan Surya.

Surya sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Ia mulai bertanya-tanya apakah ia melakukan kesalahan yang tidak disadari sehingga Anya menghindarinya seperti ini. Surya bahkan sudah mencoba untuk mencari tahu, seperti saat ia melihat Anya turun dari tangga setelah semalaman sakit perut. Meskipun demikian, saat Surya bertanya tentang keadaannya, Anya hanya mengangguk ringan dan mengurungkan niat turun ke lantai bawah.

Hari ini pun sama, mereka telah menghabiskan tiga hari di Bandung, tetapi hanya dalam semalam sikap Anya padanya berubah drastis tanpa alasan yang jelas. "Sini, gue bantu," tawar Surya ketika melihat Anya kesulitan mengangkat koper miliknya. Namun, Anya menggeleng tanpa memandang ke arahnya.

"Gue bisa sendiri," ujarnya, padahal jelas-jelas koper yang ia coba angkat tidak bergerak sedikit pun.
"Gue aja, lo keberatan kan turunin ke bawahnya," kata Surya, kemudian langsung menyambar koper besar milik Anya dan mengangkatnya dengan mudah, hal itu sedikit membuat Anya merasa malu karena terlalu angkuh untuk mengakui bahwa ia tidak mampu mengangkat barang seberat itu.

"Ini koper terakhir?" tanya Kenzo yang berdiri di samping pintu mobil, siap membantu membawa koper tersebut ke dalam mobil.

Anya mengangguk, sementara dirinya dan Surya masih berdiri di ambang pintu.
"Makasih," ucap Anya dengan wajah yang masih menunduk.

Surya menahan lengan perempuan itu, "gue ada salah sama lo?" tanyanya dengan suara lembut, membuat hati Anya terasa sesak karena merasa bersalah telah menghindari Surya tanpa alasan yang jelas.

"Anya!! Buruan!!" teriak Kenzo dari dalam mobil.
"Gue duluan," jawab Anya sambil bergegas masuk ke dalam mobil.

Kamar bernuansa merah muda itu dipenuhi oleh riuh suara obrolan dari tiga perempuan yang berkumpul di rumah Anya. Mereka datang atas permintaan Anya yang menginginkan waktu untuk membicarakan sesuatu yang penting. Kebetulan, Kenzo sedang bersama papa bermain golf, sehingga Kana setuju untuk ikut, suatu hal yang jarang terjadi karena biasanya ia akan menolak jika terdapat keberadaan Kenzo.

"Jadi, Surya nembak lo?" tanya Ravinka, merangkum inti dari cerita yang Anya sampaikan sejak mereka di Bandung, serta tentang dekatnya hubungan Anya dengan Surya dalam beberapa bulan terakhir. Namun, menurut Anya, kata-kata Surya saat itu keluar keika ia dalam kondisi tidak sadar, sehingga Anya tidak bisa memastikan apakah itu benar-benar pernyataan cinta. Meskipun begitu, Anya memilih untuk mengiyakan agar tidak terlalu banyak perdebatan. Ia juga menceritakan kekhawatirannya dan alasan mengapa ia menghindari Surya sejak kejadian itu.

"Lo sendiri suka gak sama dia?" tanya Kana, tanpa berbelit-belit. Kana selalu langsung pada intinya untuk mencari penyelesaian.

Anya, dengan keraguan dalam dirinya, mengangguk perlahan. Ia mengakui bahwa dirinya memiliki perasaan untuk Surya. "Tapi lo takut kalau dia gak beneran cinta sama lo?"

Anya kembali mengangguk, mendengar Kana menghela napas cukup panjang. "Lo harus ngomong berdua sama dia. Jangan menghindar kayak gini,"

"Tapi gue gak tahu harus mulai dari mana," kata Anya, mencoba menyampaikan kebingungannya.
"Mulai dari jujur tentang perasaan lo yang sebenarnya, baru lo jujur kenapa lo belum bisa beneran percaya sama dia," jelas Kana, menatap lurus Anya yang masih menunduk.
"Flirting aja lo jago, giliran disukai beneran aja kicep," cetus Ravinka bercanda. Anya memang seringkali bersikap ramah dengan semua orang, tanpa menganggap serius, tetapi sekarang ia disukai oleh seseorang yang berhasil masuk ke dalam hatinya, yang tidak sesuai dengan perkiraan awalnya.

"Menurut kalian, gue harus omongin ini?" tanya Anya, mencari masukan dari kedua sahabatnya.
"Iyalah, pake nanya. Daripada kayak gini malah gak jelas alurnya," tukas Kana dengan tegas.

“Tadi ibumu kesini,” ujar sang ayah ketika Surya baru saja duduk di atas sofa, setelah seharian menjaga warnet.

“Ibu ngomong apa aja sama ayah?” tanya Surya, ingin tahu isi pembicaraan mereka.

“Kamu mau ikut ibu?” sang ayah bertanya lagi.
Surya tidak segera menjawab. Raut wajah ayahnya terlihat murung, tanpa semangat.

“Aku belum tahu, Yah,”
“Besok temui ibumu, apapun keputusan kamu, ayah akan menghargainya,” kata ayah dengan suara lembut.

Sang ayah kemudian pergi meninggalkan Surya sendirian di ruang tamu. Surya melihat punggung ayahnya yang seakan memikul banyak beban. Meskipun tidak tahu apa yang sudah dibicarakan ayah dengan ibunya, Surya yakin bahwa dari sorot wajah ayahnya, ia sudah memaafkan wanita yang dulu pernah menjadi istrinya. Hubungan antara Surya dan ayahnya sudah semakin baik seiring berjalannya waktu. Ayah sudah berubah menjadi lebih baik, kembali menjadi sosok pahlawan yang Surya kagumi. Apalagi setelah Surya mengetahui bahwa ayah diam-diam bekerja sebagai supir pribadi untuk membayar biaya sekolahnya. Hal itu saja sudah membuktikan bahwa ayah telah menerima takdirnya dengan lapang dada.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang