Bab 8 | Nasehat dari Kenzo

41 18 0
                                    

“Kebahagiaan itu ditentukan oleh diri kita sendiri.”


Anya berdiri di ambang pintu kamarnya, sebuah ponsel berada di genggamannya. Dia menghela napas berat, menerima panggilan dari Rocky yang sejak malam mengajaknya untuk nge-date. Hubungan mereka baru dimulai seminggu yang lalu.

“Aku lagi gak enak badan, Kak,” ucapnya dengan suara lemah.

“Yaudah, kamu istirahat aja dulu, kita tunda besok, gimana?” tawar Rocky, penuh pengertian.

“Iya,” jawab Anya setuju.
Anya terdiam sejenak. Kemudian, dia kembali duduk di sofa, melanjutkan aktivitas menonton film Netflix di televisi. Tangannya menyendokkan pudding mangga yang diambilnya dari lemari es. Meskipun pandangannya tertuju pada layar televisi, pikirannya berkeliaran tanpa tujuan. Selama tiga hari terakhir, dirinya merasa murung, menolak untuk bersosialisasi, dan lebih memilih menghabiskan waktu di dalam kamar. Teman-temannya sudah berulang kali mencoba membujuk Anya, namun nihil. Ia mengabaikan semua pesan yang mereka kirimkan.

"Lo mau sampai kapan kayak gini?" Kenzo bertanya tanpa mendapat jawaban. Dengan langkah berat, ia memutuskan untuk duduk di sofa one seater.

"Gue udah muak, ya. Izinin lo dari kemarin. Asal lo tau, orang-orang datengin gue cuma buat nanyain lo. Bahkan karena gak ada lo, gue jadi pemotretan sendiri, tau gak?" Keluh Kenzo. Meski demikian, omelan tersebut tak kunjung mencapai telinga Anya. Membuatnya merebut pudding mangga di tangan sepupunya.

"Apaan sih?" Anya akhirnya menaikkan pandangannya pada Kenzo yang sudah berdiri sambil mengangkat pudding miliknya. Wajahnya merah padam, dan sebuah bulir bening menetes dari ujung matanya.

"Nya, lo nangis?" Tiba-tiba, Kenzo yang sebelumnya ingin meledek Anya justru terkejut melihat air mata mengalir dari matanya. Meski sering melihat Anya marah, ini adalah pertama kalinya Kenzo menyaksikan tangisan yang tertahan seperti ini.

Anya membuang muka, merampas paksa pudding miliknya ketika lelaki itu menurunkan tangannya, dan kembali duduk di sofa. Air matanya terus mengalir tanpa henti, sebagai hasil dari ketegangan yang terpendam sejak memorinya kembali ke masa kelam. Anya berusaha menahan emosinya sebaik mungkin, tetapi akhirnya Kenzo membuat segala kekesalan yang selama ini ia tahan keluar dengan sendirinya.

"Lo yakin gak mau cerita sama gue?" Kenzo sudah duduk disamping Anya dan mengelus lembut punggung perempuan itu. Meski begitu, Anya belum juga menghentikan tangisnya, suara isakannya terus pecah hingga akhirnya ia memilih memeluk erat sepupunya itu. Kenzo membiarkan, isakan tangis Anya terdengar begitu tersedu-sedu, membasahi kaus kuning yang dikenakannya.

Sebagai seorang sepupu yang baik, Kenzo membiarkan Anya menangis padanya selama kurang lebih dua puluh menit. Suara tangis yang tadinya begitu keras kini hanya meninggalkan suara sesegukan ringan. Kenzo masih terus mengelus punggung Anya yang belum mau melepaskannya.

"Jo, gue takut," mata Anya berkaca-kaca. Di antara semua orang yang Anya percayai, hanya Kenzo yang mengetahui semua masa kelam Anya. Kenzo sangat tahu bagaimana Anya bangkit dari segala trauma yang menyakitkannya.

Ia mengusap lembut pucuk kepala Anya. Kadang-kadang, ia bisa menunjukkan sisi dewasanya, meskipun biasanya bersikap menyebalkan dan selalu mengganggu sepupunya itu. Nyatanya, justru Kenzo merupakan orang yang paling mengkhawatirkan Anya.

"Gue seburuk itu ya, Jo?" Kenzo tidak menjawab. Dalam hatinya, ia berusaha mencari kata-kata yang tepat agar Anya tidak merasa dihakimi.

Ia mendorong pelan bahu Anya, menatap lembut netra yang sedang sedu dihadapannya.

"Asal lo tahu, semua orang punya masa kelamnya masing-masing. Tapi perihal kebahagiaan, itu lo sendiri yang menentukan, Nya. Kebahagiaan sejati gak didapat dengan cara lo menjadi orang yang sama seperti mereka yang nyakitin lo. Lo sadar kan kalo perlahan lo berubah menjadi orang yang lo benci? Hal yang lo lakuin itu hanya akan mengantarkan lebih banyak rasa sakit, karena lo memilih untuk terus bertahan di tempat menyakitkan itu."

Perkataan itu seolah mengetuk hati Anya dengan lembut. Bagian dalam hatinya terasa terbuka, seolah mencoba menerima apa yang disampaikan oleh Kenzo. Ia menyadari bahwa ia telah melangkah terlalu jauh, merusak hati orang lain tanpa menyadari bahwa dirinya sendiri mungkin tidak pantas mendapat kesempatan kedua.

"Ompapa sama tantemama masih belum lo kasih tau tentang keresahan lo bertahun-tahun ini kan?" Anya mengangguk, menahan getir di matanya.
Hanya Kenzo yang ia percayai. Bukan karena ia tidak mempercayai teman-temannya atau orang tuanya, melainkan karena Anya takut jika teman-temannya mengetahui masa lalunya, mereka akan menjauh dan merasa jijik padanya. Juga takut jika orang tuanya mengetahui, ia tidak lagi bisa menjadi anak kebanggaan mereka.

“Gue gak akan maksa lo, tapi gue harap lo tau apa yang harus lo lakukan setelah ini”
Anya jelas tahu arah omongan Kenzo, lelaki itu masih menatapnya hangat, tangannya terulur mengambil gelas berisi air dingin di meja, menyodorkannya untuk Anya.

“Thanks ya, Jo,” ucap Anya sambil menerima gelas tersebut.

Kenzo mengangguk. “Sebagai sepupu yang baik, gue mau jujur nih. Kamu kalau lagi nangis, jelek banget, berisik pula,” sifatnya sudah kembali ke bentuk semula.
“Kok lo jahat gini sih, mau gue nangis lagi?” tanya Anya.
“Gak gitu, gue lebih suka liat lo yang biasanya, yang ceria,” ucap Kenzo sambil tersenyum.
Anya tersenyum sambil menyenggol lengan Kenzo. "Jadi, gue yang biasanya cantik ya?" ledeknya.
"Iya, cantik. Tapi masih cantikan Kana," goda Kenzo.
"Sialan lo."

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang