Bab 16 | Sepotong Keraguan

32 17 0
                                    

"Sejauh kita menghirup napas kehidupan, tantangan akan senantiasa hadir sebagai ujian bagi setiap insan."

-
Surya melangkahkan kaki keluar dari ruangan guru, sebuah amplop berwarna putih berada di tangan kanannya, sekaligus menjadi alasan wajahnya terlihat lebih murung dari biasanya. Begitu menutup pintu ruangan, terdengar helaan napas panjang, ia sempat berhenti di depan pintu coklat itu sambil sejenak menatap amplop di tangannya.

Karan yang tengah sibuk memperhatikan wajahnya di spion motor segera menoleh ketika mendapati sosok Surya yang terlihat lunglai dari ujung matanya, lelaki itu kelihatan seperti tak bergairah selepas pembicaraan bersama kepala sekolah di ruang guru.

"Lo kenapa? Ada masalah?" tanya Karan ketika Surya menerima helm yang diulurkannya.

"Ada lah, kalau nggak, gak mungkin gue dipanggil," celetuk lelaki yang kini sudah nangkring di atas motor Karan. Motor Surya baru bisa diambil sore ini setelah menetap di bengkel sekitar tiga hari, selama itu pula dirinya harus menebeng dengan Karan.

Pembicaraan di ruang guru sebelumnya tidak lain adalah soal surat permintaan pembayaran yang belum Surya lunasi selama dua bulan ini. Mendekati ujian tengah semester dimulai, dirinya justru dihantui oleh tuntutan mencari uang tambahan. Masalahnya, uang tabungan yang dikumpulkan untuk membayar tunggakan terpakai oleh biaya penggantian aki motornya yang tidak diduga akan rusak. Kepala sekolah bilang kalau tidak segera dilunasi, terpaksa dirinya tidak bisa mengikuti ujian tengah semester.

"Jadi, tadi ngomongin apa?"
Karan mengerucutkan bibir lalu menyedot es teh manis yang dibelinya di pinggir jalan. Mereka sampai di apartemen Karan yang sudah disambut hangat oleh Ravinka dan Kana. Mereka berempat janjian untuk menginap sekaligus menghabiskan malam untuk belajar bersama. Keempat pemuda-pemudi ini sudah saling kenal sejak SD, mereka dengan kepribadian yang berbeda, justru entah mengapa bertahan dalam hubungan pertemanan yang cukup lama.

Ayah Karan telah memberikan izin pada anaknya untuk menggunakan apartemen sejak Karan masuk SMA, namun dengan syarat bahwa anak lelakinya harus menyetujui permintaan sang ayah yang memasang banyak CCTV untuk menjaga putranya. Selain itu, CCTV tersebut juga bertujuan untuk mengawasi agar Karan tidak melakukan hal-hal yang mungkin akan disesalinya kemudian.

"Iya, tadi ngomongin apa?" tanya Ravinka.
Sambil melepas hoodie yang dipakainya, Surya duduk di samping Kana yang sedang mendekap setoples makanan ringan dipangkuannya.

Surya mengeluarkan sebuah amplop putih dari saku bajunya dan memberikannya kepada Ravinka yang segera membacanya.

Karan yang sebelumnya penasaran, bertumpu pada sisi belakang sofa yang diduduki Ravinka, kepalanya tepat di atas kepala perempuan itu, sambil ikut membaca isi amplop.

Sementara itu, Kana yang tidak terlalu penasaran, yakin bahwa Ravinka akan mengumumkannya dengan keras seolah ingin semua orang di ruangan itu mengetahui isi surat tersebut. Selagi menunggu, Kana sibuk menonton sebuah kartun yang tayang di televisi di depannya.

"Jadi, lo gak dibolehkan ujian kalau SPP belum lunas?" tanya Ravinka dengan suara yang agak meninggi, sesuai dugaan Kana.

Surya hanya mengangkat kedua bahunya dengan posisi yang masih menyender di sofa, "ya gitu,"
Karan duduk di sisi sofa one-seater yang diduduki Ravinka, pandangannya mengarah kepada lelaki yang kelihatan suntuk menghadapi pikirannya sendiri.

"Gue ada sih tabungan, kalau lo mau pakai-"
"Gak, gak. Kemarin lo baru pinjemin gue duit, Kar."
"Ya gak apa-apa, kalau kayak gini, lo mau gimana coba?"
Karan benar, Surya tidak punya penghasilan lain selain menjaga warnet dan sebagai ojek online. Kedua pekerjaan itu masih belum cukup untuk mendapatkan uang yang harus ia kumpulkan. Tetapi Surya tidak bisa menerima tawaran Karan begitu saja. Baru kemarin, Karan meminjamkan tambahan uang untuk membawa motor Surya ke bengkel, itu saja belum ia kembalikan. Surya tidak ingin banyak meminta dari Karan, sekalipun mereka bersahabat.

"Kalau kerja seharian, lo mau?" tanya Kana dengan ekspresi dingin seperti biasa. Ia sudah mendengar pembicaraan teman-temannya barusan. Mereka semua segera menoleh, seakan baru ingat bahwa Kana memiliki banyak informasi soal pekerjaan. Perempuan itu hampir selalu memiliki kenalan di mana-mana terlepas dari sikapnya yang tak acuh.

Surya langsung menegakkan badannya, menoleh sempurna kepada Kana. "Mau lah, pake nanya lo,"
"Ya, gue gak yakin aja lo mau pekerjaan berat, Ya."
"Kasih tau dulu aja, Na, siapa tau bisa dipertimbangkan. Ya, kan?" ungkap Ravinka seolah meminta persetujuan dari teman-temannya.

Mereka mengangguk, Kana membuka mulut, "teman ayah gue lagi renovasi halaman depan rumahnya, kebetulan lagi kekurangan orang, lo mau gue rekomendasikan?"
"MAU!!!" seru Karan dan Ravinka bersamaan. Pertanyaan yang diajukan kepada Surya malah dijawab oleh kedua orang itu.

Surya menunduk, "full seharian?"
"Kalau hari libur iya, tapi kalau sekolah, lo bisa mulai dari pulang sekolah sampai malam. Berat sih menurut gue, tapi kalau masalah bayaran... per-harinya lumayan gede," jelas Kana, membuat lelaki di sebelahnya mengangguk-angguk paham.
"Boleh deh, Na,"
"Malam ini gue kabarin orangnya, biar besok gue anter lo ke tempatnya," Surya sedikit lega mendengarnya, meskipun ia tidak tahu apakah uangnya nanti akan cukup untuk membayar tagihan sekolahnya. Dalam waktu kurang dari seminggu, mengumpulkan uang yang tidak sedikit bukanlah sebuah hal yang mudah, tetapi tidak ada salahnya kalau dicoba.

"Thanks ya, Na,"
Kana mengangguk, "mending lo ganti baju gih, bau sengit," tutur Karan.
"Iyee," Surya beranjak dari sofa menuju kamar yang sebelumnya dimasuki oleh Karan.

Ruang studio pemotretan dipenuhi dengan cahaya terang dari lampu flash kamera yang bersinar di segala arah. Cahaya tersebut membawa Anya ke dalam dunianya sendiri, dikelilingi oleh sorotan yang memancar dari setiap sudut ruangan. Rana lampu yang melingkupi studio menambah kesan glamor pada ruangan tersebut.

Anya berdiri dengan percaya diri di depan latar belakang berwarna putih. Matanya bersinar mempesona ketika lampu flash menyala, mengenakan gaun cantik dan riasan yang menonjolkan keanggunannya. Seorang penata rambut dengan cermat memastikan setiap detail terlihat sempurna. Anya mulai berpose, terkadang dengan senyum, terkadang dengan tatapan tajam yang memikat. Fotografer memberikan petunjuk untuk mengubah pose, dan dengan lincah, dia mengikuti arahan tersebut.

"Great job! Tapi kayaknya kita ingin lebih menekankan kecantikan mata kamu deh. Coba berikan tatapan yang lebih intens ke arah kamera. Lisa, bisa kamu perbaiki sedikit tata rambutnya agar terlihat lebih pas?" Fotografer itu memperhatikan setiap pose Anya melalui lensa kameranya, sementara penata rias, Lisa, mengevaluasi setiap detail tata rambut dan riasan. Anya mengangguk dan dengan penuh antusias mengikuti arahan mereka.

Anya menjadi model untuk mempromosikan produk make-up dari teman ibunya, seorang pengusaha di dunia kecantikan. Kepercayaan yang teman ibunya miliki pada Anya sangat nyata. Ia merasa dihargai dan diterima dengan segala keunikan dan daya tariknya, di mana Anya menjadi representasi visual yang sempurna untuk visi dan nilai produk kecantikan yang diusung.

Pemotretan usai.
Kenzo tiba-tiba menghubungi Anya melalui pesan singkat yang diabaikan olehnya, sementara ia terus mengipasi wajahnya dengan tangan.
"Pak Wahyu agak telat menjemput lo?" tanya Kenzo.
"Lah? Kenapa? Gue kan udah bilang jam tujuh selesai," jawab Anya, sambil terus mengipasi wajahnya.
"Iya, habis nganter ompapa dan tantemama ke bandara."
"Om? Maksud lo papa sama mama? Mereka pulang?" Anya menegakkan tubuhnya, seuntai senyuman cerah terpancar dari wajahnya. "Kok lo diem?"

"I-iya, mereka ada urusan bisnis di Bali," ucap Kenzo terbata-bata, sejujurnya ia lupa bahwa papa Anya berpesan agar Anya tidak mengetahui hal tersebut.

"Kok gue gak dikabarin ya? Oh iya, mereka ngomong apa lagi, Jo?"
"Gak banyak, cuma bilang ada urusan bisnis mendadak. Mungkin ada pertemuan. Lo bisa tanya langsung aja sama mereka nanti," saran Kenzo.
"Yaudah, gue balik pake taksi aja kali ya?"
"Iya, hati-hati."
Kenzo menutup sambungan teleponnya, meskipun Anya mencoba untuk yakin bahwa semuanya baik-baik saja, rasa penasaran dan ketidakpastian mulai menghantuinya. Ia berusaha mengembalikan fokusnya, sambil berencana untuk mengonfirmasi informasi lebih lanjut dengan orang tuanya nanti.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang