“At this moment he realized that he was in love with her.”
—
Mendengar cerita Anya kemarin, beban perasaan bersalah di pundak Surya semakin menumpuk. Beberapa hari sebelumnya, dia telah bersikap kasar terhadap Karan, menjauh darinya, dan bahkan membentaknya tanpa alasan yang jelas. Meski begitu, seperti yang diungkapkan Anya, Karan tetap berbaik hati mengizinkannya pada guru dan bahkan mencatat pelajaran demi memastikan Surya tidak ketinggalan menjelang ujian tengah semester yang tinggal beberapa minggu lagi.Dalam beberapa hari terakhir, hidup Surya terasa seperti lorong gelap tak berujung. Sikap dingin sang ayah yang tidak kunjung berubah dan siklus berpikir berlebihan meracuni pikirannya. Tanpa pamrih, Surya memutuskan untuk menjauh dari rumah, menemukan tempat perlindungan sementara di kontrakanadit Adit, pemilik warnet tempat di mana ia biasa bekerja. Dirinya enggan untuk kembali, karena merasa bahwa keberadaannya tidak akan dihiraukan oleh sang ayah.
Suatu malam, setelah berbincang-bincang dengan Anya di Taman Suropati dan menguatkan hatinya, Surya berdiri di depan rumah berwarna putih gading. Ia menekan bel dan menunggu, hatinya berdebar-debar.
Pintu kayu kecoklatan terbuka, Karan yang mengenakan pakaian santai, terkejut melihat senyuman canggung Surya.“Masuk saja, Ya, pintunya nggak dikunci,” ucap Karan sambil tetap memegang gagang pintu. Surya memasuki rumah, melintasi Karan, dan duduk di ruang tamu.
“Minumnya kayak biasa, ambil sendiri,” Karan tersenyum tipis, ia masih memperlakukan Surya seperti biasa.Surya mengangguk, menyerahkan paper bag coklat yang dibawanya sejak tadi kepada Karan. Karan membuka paper bag tersebut, matanya terbuka lebar setelah melihat dua tanaman sukulen haworthia di dalamnya. Haworthia, tanaman eksotis dari keluarga Xanthorrhoeaceae yang berhasil mencuri perhatian dengan pola dan bentuk daunnya yang unik.
“Wow bagus banget! Lo kok tahu gue lagi cari ini?” tanya Karan.
Surya tersenyum, “waktu itu lo cerita ke gue, Kar,”
Karan tertawa, Surya memilin jemarinya, mencoba mengeluarkan kalimat yang sudah dipersiapkannya sejak tadi. “Gue sekaligus mau minta maaf,” ucapnya dengan serius, mencoba memulai pembicaraan yang sulit.“Lo gak perlu minta maaf, Ya. Semoga masalah lo cepat beres ya,” potong Karan dengan tulus, menepuk ringan bahu Surya sebelum kembali memperhatikan tanaman di tangannya.
“Lo dapat ini di mana, Ya? Daerah sini jarang ada yang jualan beginian,” tanya Karan, tetap asyik dengan tanaman yang baru diterimanya.
“Gue nemu di Pasar Kebayoran Lama.”
“Gila, lo effort banget buat nyariin ini,” komentar Karan.
Keduanya saling tertawa, Surya tidak perlu meminta maaf. Baginya, tindakan Surya mencari tanaman ini sudah lebih dari cukup. Karan juga mulai memahami bahwa Surya mungkin memerlukan ruang untuk dirinya sendiri, dan dia tidak melihat adanya alasan untuk mempertahankan amarah atau kekecewaan terhadap sahabatnya ini.★
Ruang latihan basket berada di sisi selatan gedung utama sekolah, menyambut cahaya matahari melalui pintu geser berjendela kaca. Lantainya yang elastis memberikan kenyamanan di setiap jejak, sementara dinding di satu sisi dipenuhi oleh cermin besar, menciptakan visualisasi teknis yang dapat dilihat oleh para pemain sepak bola.
Seberang lapangan, terdapat sebuah aula megah membanggakan langit-langit tingginya. Warna cerah pada dinding menciptakan suasana yang segar dan ceria, pintu masuknya yang besar terbuka, memberikan pengalaman suara dan aktivitas aula kepada dunia luar.
Surya dan Karan memasuki ruang latihan, disambut oleh kehidupan riuh rendah yang menandakan latihan yang berlangsung. Udara di dalam ruangan terasa segar meskipun beberapa ventilasi terbuka. Fokus mereka beralih ke aula yang seberang, di mana sekelompok gadis pemandu sorak sedang berlatih dengan seragamnya yang khas.Surya, tanpa sengaja, melirik latihan pemandu sorak, di mana matanya tertarik pada sosok yang membuatnya terkesiap sejenak. Anya, dengan rambut panjangnya, memimpin latihan dengan energi dan senyuman yang tak terlupakan.
"Eh, lihat tuh si Anya, gerakannya keren banget!"
"Tau dia jadi kaptennya, gue mau dah masuk cheerleader,"
"Serius lo?"
"Serius lah, tapi gue mau jadi yang nangkep Anya aja,"
Tertawa dan lelucon ringan di antara teman-temannya menyemarakkan telinga Surya. Rekan-rekan satu timnya ikut terpesona melihat Anya. Mereka saling berpandangan dengan senyuman dan memberikan isyarat bahwa mereka juga merasakan daya tarik dari penampilan perempuan itu. Fokus Surya pada latihan bolanya mulai tergeser, dan dalam keheningan hatinya, matanya tak bisa lepas dari sosok Anya yang memimpin dengan penuh semangat. Detik demi detik berlalu, dan seiring berjalannya waktu, dia merasakan adanya perubahan dalam dirinya. Sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata mulai tumbuh di dalam hatinya.Pandangan lelaki itu melekat pada setiap gerakan Anya, dari senyum cerianya hingga kepiawaian dalam melatih. Jantung lelaki itu berdebar lebih kencang, menyadari bahwa pesona perempuan itu tak hanya memikat mata tetapi juga menyentuh hati. Surya merasakan dorongan emosional yang sulit dijelaskan. Ada perasaan yang muncul di dalam dirinya, sesuatu yang berbeda dari sebelumnya.
Dalam monolog batinnya, Surya menyadari bahwa tanpa sadar, ia telah memuji setiap sisi dari Anya. Meskipun canggung dan tak mampu mengungkapkan perasaannya, dalam hatinya, Anya berhasil menjadi matahari yang menghiasi kegelapan di dalamnya.
"Kenapa mata lo kayaknya nggak bisa lepas dari sana, Ya?" Karan meledeknya, menyadari tatapan temannya yang terus mengarah pada sesi latihan pemandu sorak.
Surya memutar bola matanya, "Apaan sih, liat noh yang lain pada kemana," komentarnya, mencoba mengalihkan perhatian Karan."Alah, lo juga, bedanya lo gak seberani mereka," ledek Karan lagi.
"Anjir lo, orang gue cuma..."
Karan tersenyum, "kenapa?"
Surya menggeleng, "gak, gak ada. Lupain aja,"
Surya berusaha menyembunyikan perasaannya, tetapi Karan langsung menariknya agar bisa melihat Anya dengan lebih jelas. "Tuh, Anya lagi di sana. Wah, kayaknya dia lihat lo nih!" Surya langsung merasa canggung, dan Anya tampaknya memperhatikan tatapan mereka.Anya melihat Surya dan Karan dari kejauhan. Ia melambaikan tangannya dengan ceria, memberikan senyum ramah sebagai sapaan, dibalas oleh Karan yang juga ikut mengangkat tangan ke arahnya. Namun, Surya hanya tersenyum canggung karena diam-diam Karan masih terus meledeknya.
Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya Karan mengingatkan teman-temannya akan latihan mereka. "Fokus, ya, teman-teman. Kita juga punya pertandingan nanti," ujarnya dengan nada agak meninggi, membuat yang lainnya sadar kemudian kembali pada tujuan awal mereka, yaitu latihan.
"Habis latihan, lo bisa liat Anya sepuasnya, Ya. Fokus dulu," bisik Karan disertai gelak tawanya yang khas.
Surya tersenyum kecut, "berisik lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fearless (selesai)
Romance- Di sudut kota yang berkilau dan gemerlap, terdapat dua dunia yang bertabrakan namun saling melengkapi. Dua sosok yang hidup dalam realitas yang berkebalikan, terjerat dalam takdir yang tak pernah mereka bayangkan. Dalam sorotan cahaya kemewahan, A...