Bab 29 | Truth or Dare

38 20 1
                                    

"Didn't we both realize that we're in love with each other?”


Kenzo mengeluarkan mobilnya dari garasi setelah menyusun rapi semua koper di bagasi. Sebuah BMW Series 3 berwarna hitam terparkir di luar, siap membawa Kenzo dan Anya dalam perjalanan tiga hari mereka.
Rencana liburan itu bukan hanya sekadar wacana. Setelah meyakinkan Kana hari itu, baik Anya maupun Ravinka bersedia membantunya, sesuai janji mereka. Kenzo juga menginformasikan rencananya di grup yang mereka buat. Karan merespons dengan positif, dan Surya—selagi Karan ikut—tanpa ragu mengiyakan.

"Kalau begitu, Anya dan Kenzo pamit dulu ya, Ma," Anya memeluk mama yang mengantar mereka sampai ke depan gerbang. Malam sebelumnya, Ia sudah membahas rencana liburan mereka yang akan menyewa villa Om Danu, adik dari mama.

"Kalian berdua baik-baik di sana, ya," pesan mama sambil meletakkan tangannya di pipi Anya dan mengelusnya lembut.

"Iya, Ma, aku kan cuma pergi 3 hari," jawab Anya disertai anggukkan ringan. Pandangan mama kemudian beralih pada Kenzo yang menyaksikan mereka dari dalam mobil.

Mama mendekat dan merapikan rambut keponakannya dengan penuh kelembutan. "Bawa mobilnya hati-hati, ya. Kamu sudah bawa semua surat-suratnya, kan? Jangan berkendara terlalu cepat."

Kenzo mengangkat tangan dalam tanda hormat. "Iya, Tantemama yang cantik," godanya membuat mama tersenyum meski masih terlihat khawatir.

"Kalo gitu, aku dan Kenzo akan pergi dulu, Ma," ucap Anya yang sudah duduk di samping Kenzo.
Mobil itu melaju tepat pada pukul sembilan lewat beberapa menit. Anya sudah menghubungi Karan untuk bertemu di titik kumpul agar mereka berangkat bersama.

Awalnya, mereka berencana menggunakan satu mobil bersama, tetapi Anya membatalkan niat itu karena Kenzo tidak terbiasa dengan aroma mobil orang lain. Sepupunya itu memang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap aroma, kecuali jika mobilnya sudah ia kenali seperti aroma peppermint yang khas dari mobil-mobil keluarganya.

Di dalam mobil, lagu-lagu dari album "Lover" milik Taylor Swift mengalun lembut melalui sistem audio. Anya yang duduk di kursi penumpang depan tersenyum lebar sambil bernyanyi lirik-lirik lagu dengan penuh semangat, seakan menjadi Taylor Swift sendiri.

Kenzo lebih banyak diam kali ini, fokus pada jalanan. Dia sesekali mengangguk sesuai irama lagu yang mengalun di dalam mobil, memantau jalanan dengan tatapan tajam untuk memastikan keamanan perjalanan.

"Album 'Lover' mah khatam gue, Jo. Lagu favorit lo yang mana?" tanya Anya antusias saat lagu "Lover" diputar.
"Midnight Rain," jawab Kenzo. Anya terkejut sejenak sebelum memperhatikan ekspresi bingung Kenzo. Kenzo memikirkan jawabannya, lalu menjawab dengan mantap, "eh, dari album 'Lover' ya? Menurut gue 'Cruel Summer' paling oke sih,"

Berkat sering mendengar lagu-lagu Taylor Swift dari Anya, Kenzo menjadi familiar dengan lagu-lagunya dan akhirnya tertarik, bahkan menjadi bagian dari swifties.

Setelah tiga setengah jam perjalanan, mobil mereka memasuki area Bandung. Mobil Karan yang mengikuti dari belakang tidak terlalu jauh, mereka disambut oleh pepohonan hijau, udara segar, dan angin sepoi-sepoi yang menyapa wajah mereka. Rasa bahagia dan ceria terpancar dari dalam mobil saat mereka merasakan kesegaran udara Bandung yang menenangkan.

Melewati jalan-jalan kecil di Bandung, mereka melihat berbagai toko unik, kafe ramai, dan warung makan dengan aroma khas Bandung yang menggoda. Keindahan alam sekitar juga memukau mereka, dengan pegunungan hijau dan ladang subur yang menghampar di sepanjang perjalanan. Villa tempat mereka akan menginap terletak di lereng bukit dengan pemandangan indah ke kota Bandung.

Setelah tiba di depan gerbang villa, mereka berjalan masuk ke dalam dengan rasa antusias. Villa itu megah, dengan desain yang elegan dan terawat dengan baik. Di sekitar villa terhampar halaman yang luas di bagian depan, sementara di belakang terdapat sebuah kolam renang yang cukup besar.

Mereka masuk ke dalam villa melalui pintu depan yang besar. Begitu masuk, mereka disambut oleh interior yang mewah dan hangat. Ruang tamu yang luas dihiasi dengan furnitur yang nyaman dan dekorasi yang elegan. Di pojok ruang tamu terdapat perapian yang menambah nuansa hangat di dalam villa.

Mereka segera memeriksa kamar-kamar yang tersedia. Villa itu memiliki empat kamar tidur yang masing-masing dilengkapi dengan kamar mandi dalam.
Anya dan Kenzo memutuskan untuk mengambil dua kamar yang terletak di lantai atas dengan pemandangan indah ke halaman depan villa. Sementara itu, Karan, Ravinka, Surya, dan Kana mengambil dua kamar di lantai bawah yang juga memiliki akses langsung ke area kolam renang di belakang villa.

Malam itu, cahaya lampu di ruang tamu villa menyala, menciptakan atmosfer yang hangat dan ramah. Mereka berkumpul di sekitar meja rendah di tengah ruangan, setelah merencanakan kegiatan selama liburan sebelumnya. Akhirnya, mereka berkumpul di ruang tamu persis di depan televisi untuk memulai permainan pertama, truth or dare.

"Kita pakai spin wheel ya!" seru Anya dengan antusias kepada teman-temannya.

Mereka duduk melingkar, siap untuk menantang dan mengungkap rahasia satu sama lain. Kana menjadi orang yang pertama kali memulai permainan setelah namanya terpilih pada babak pertama. Sementara Kenzo, dengan semangat membara, mengangkat tangan, siap memberikan pertanyaan pada Kana.

“Yaudah, lo,” seru Ravinka.
“Truth or dare?” tanya Kenzo sebagai awal.
“Truth!”
“Pilih nomor 1-30?”
Kana memilih nomor 7, “oke, pertanyaannya apa hal yang membuat lo bahagia tapi orang tua lo nggak tahu?”

“Gue bahagia ketika gue menjadi diri sendiri, gak berusaha jadi orang lain,” jawaban Kana samar, tidak ada satupun dari mereka yang mengerti maksudnya, yang jelas pertanyaan itu terjawab, kini giliran Ravinka yang menekan tombol spin.

Surya adalah orang berikutnya yang dipilih setelah Kana. Melihat namanya muncul membuat lelaki itu reflek menegakkan tubuhnya, menatap teman-temannya dengan gugup karena takut mendapatkan pertanyaan menjebak.

“Gue dong,” Karan mengajukan diri untuk bertanya.
“Truth or dare?” tanya Karan.
“Truth,” Surya memilih kejujuran lagi, membuat Kenzo memutar bola matanya dengan sedikit kecewa karena tidak ada yang memilih dare, dalam benaknya ia sudah berencana untuk jahil.
“Nomor?”
“20,”
“Wow!” seru Karan tiba-tiba begitu melihat pertanyaan dari internet.
Degup jantung Surya berdetak dua kali lebih cepat sambil menunggu pertanyaan dibacakan, ia berharap tidak ada yang aneh seperti ekspresi Karan barusan.

“Ini dari internet lho, bukan gue. Pertanyaannya, siapa orang yang paling lo ingin cium di antara kita?"
Sementara Karan bertanya dengan senyum meledek, Kenzo lagi-lagi bertingkah dramatis, membulatkan matanya seolah memastikan kepada Karan apakah pertanyaan itu benar-benar ada, dan ya tentu saja Karan tidak berbohong.

Surya mendecakkan lidah, lebih karena tidak tahu harus menjawab apa. Disisi lain, teman-temannya yang penasaran tentu saja menunggu jawaban yang pasti dari Surya.

“Gak ada yang ingin gue cium. Kita semua kan teman dan gue menghargai hubungan pertemanan kita,”
“Bohong, pasti ada,” desak Ravinka yang sejak tadi sudah penasaran.

Surya mendecakkan lidah, “oke, diantara kita, gue paling ingin cium itu diri gue sendiri. Puas lo pada?” mereka tertawa setelah menyudutkan Surya, ditambah lagi ketika lelaki itu mendaratkan kecupan ringan di punggung tangannya.

Sebenarnya, ditengah kegembiraan ada suatu hal yang tak mereka sadari, pandangan Surya menatap penuh salah satu dari mereka, kalau boleh jujur perempuan itu menjadi satu-satunya orang yang terlintas dalam pikirannya begitu pertanyaan diajukan.

Sementara yang perempuan mengira bahwa dirinya memang tidak pernah di anggap istimewa oleh Surya, seakan-akan hanya dirinya sendiri yang merasakan degup jantungnya berpacu dua kali lipat ketika bersama si lelaki.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang