Bab 5 | Dua orang yang memiliki persamaan

62 31 0
                                    

"Asalkan kita memiliki satu sama lain, tidak ada masalah yang terlalu berat untuk ditangani di dunia ini, karena bersama-sama kita akan selalu merajut kebahagiaan."



Malam ini, sekitar pukul sebelas lewat empat puluh lima menit, suasana tenang memenuhi parkiran depan minimarket di ujung jalan. Kana tiba dengan motor Scoopy berwarna abu-abu, membuka pintu supermarket sambil mencari sosok yang sudah akrab dengannya. Cahaya lampu minimarket yang redup menggambarkan suasana malam yang damai, matanya dengan cepat memindai ruangan untuk menemukan temannya. Seorang pemuda dengan rambut hitamnya yang khas, sedang sibuk merapihkan dan menyusun barang-barang di rak jajanan ringan. Terdengar gemerisik kertas dan suara pelanggan yang berbicara pelan, menciptakan latar belakang ritme malam yang tenang. Surya yang menyadari kedatangan Kana, menoleh ke arah pintu.

“Na, gue di sini,” ujarnya sambil mengangkat tangan seraya melambai, menarik perhatian Kana.
“Lo udah makan?” tanya Kana, lelaki itu berjalan ke arahnya.
“Belum, kenapa?”
“Gue bawa mi dok-dok, mau makan bareng gak?”
Surya mengangguk, “Boleh, lo tunggu di luar dulu aja, gue bentar lagi selesai.” Kana mengangguk, mengacungkan jempol setuju untuk menunggu lelaki itu menyelesaikan pekerjaannya.

Surya membuka pintu kemudian duduk di kursi yang tersedia di depan Kana. Sebuah meja di area parkiran minimarket dan dua buah kursi, yang biasanya ditempati penjaga parkir di siang hari.

Suasana sekitar minimarket, meskipun tenang, hembusan angin malam yang melayang dan suara langkah-langkah pelanggan yang kadang-kadang terdengar di kejauhan. Cahaya redup dari lampu minimarket menyoroti keduanya. Hawa dingin dari udara luar masih terasa meski Kana telah mengenakan cardigan tebal.

“Sorry ya, lo jadi harus nungguin gue.”
“Gapapa,” ujar Kana, membuka karet yang mengikat kertas nasi berisi mi tersebut, juga memberikan sendok plastik pada lelaki di depannya.
“Tumben banget lo baru pulang, Na?”
“Ada customer yang minta bunga dadakan, buat acara besok katanya. Gue mana bisa nolak.” Kana menjalankan sebuah toko bunga yang telah menjadi warisan berharga dari sang ibu sejak bertahun-tahun lalu. Ketika ibunya meninggal, ayahnya berencana untuk menutup toko bunga tersebut. Namun, Kana dengan tegas menahan keputusan itu dan menyatakan bahwa dirinya akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kelangsungan toko tersebut.

Meskipun hanya bergantung pada dirinya sendiri, Kana memilih untuk tidak memperkerjakan orang lain. Ia merasa bahwa tanggung jawab tersebut menjadi beban yang patut diemban sendiri, Biasanya, Kana menerima pesanan bunga jauh-jauh hari, memberinya cukup waktu untuk merencanakan setiap detil dengan teliti. Tetapi, kali ini, seorang pelanggan meminta rangkaian bunga dadakan. Permintaan ini datang dengan kebutuhan mendesak, karena bunga tersebut sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya yang akan diperingati besok. Kana yang selalu menjunjung tinggi kualitas dan dedikasi pada setiap karyanya, merasa tertantang untuk menyelesaikan pesanan dadakan tersebut dengan sebaik-baiknya agar memberikan kebahagiaan pada pelanggan dan juga sebagai bentuk penghargaan kepada ibunya yang sedang merayakan ulang tahun.

“Lo sendiri sampai jam berapa?”
“Nunggu temen gue dateng, paling bentar lagi”
Keduanya melanjutkan percakapan, membicarakan berbagai hal, merinci keseharian Kana di toko bunga dan kisah Surya yang dihabiskan dengan membaca komik di minimarket yang lebih sepi dari biasanya. Pada waktu-waktu seperti ini, Kana dan Surya menjadi individu yang saling terbuka satu sama lain. Seolah memiliki takdir yang serupa, keduanya juga menemukan bahwa kehidupan mereka memiliki banyak kesamaan. Kana, saat bersama Surya, merasa semakin banyak berbicara dan menemukan tempat di mana ia bisa bersandar. Hubungan mereka terasa lebih dalam daripada sekadar persahabatan biasa.

Bagi Surya, Kana bukan hanya teman, melainkan juga sosok yang memiliki kehidupan serupa dengan dirinya. Mereka berdua tinggal hanya dengan satu ayah, tanpa saudara, dan menjalani peran sebagai tulang punggung keluarga. Meskipun ayah Kana lebih baik dibandingkan ayahnya, saat bersama, tidak ada perasaan rendah diri karena beban hidup yang terasa lebih berat dibandingkan teman-teman sebayanya. Bersama, mereka menjadi tempat berlindung satu sama lain, merajut hubungan yang mengarah pada pembentukan rumah yang diisi oleh orang-orang yang memahami perjuangan hidup serupa.

“Itu temen lo, bukan?” tanya Kana saat melihat seorang pria berusia dua puluhan mendekat. Surya mengangguk sambil melihat ke arah Reynald, temannya yang baru datang.

"Bang Rey!" sapa Surya sambil melambaikan tangan. Reynald merespon dengan senyum dan balas melambaikan tangannya.

"Gue agak telat, ya? Tadi macet di pertigaan," kata Reynald.
"Aman, Bang. Yaudah, gue balik ya, udah malam banget," ujar Surya sambil meminum air mineral dari botol setelahnya.
Reynald mengangguk, "Hati-hati, ya."
Setelah itu, mereka berdua melakukan fist bump dan Kana juga membungkuk sebagai tanda pamitan.
Kana menyerahkan kunci motornya kepada Surya, memintanya untuk menjadi pengendara malam ini. Hari ini, kebetulan Surya tidak membawa motor sendiri karena sebelumnya ia bersama Karan bermain di warnet, dan akhirnya Karan yang mengantar Surya melanjutkan pekerjaannya di minimarket.

Saat itu sudah hampir tengah malam, angin malam meniup lembut menerpa rambut hitam pekat Kana. Ia sangat menikmati sensasi perjalanan malam dengan menggunakan motor, seperti yang sedang ia alami. Meskipun Kana sudah sangat mengantuk karena menghabiskan sepanjang hari minggu di toko bunga, ia masih bisa merasakan kesenangan perjalanan ini. Perempuan itu memegang erat sisi samping kemeja Surya, menyandarkan kepalanya di punggung lelaki yang fokus berkendara. Meski mata Kana terpejam, ia tidak tidur sepenuhnya, hanya berusaha menghilangkan rasa lelah yang menyelimutinya sepanjang hari.

“Capek banget ya hari ini?”
Kana menguap, “Banget.”
Jika pertanyaan itu ditanyakan oleh orang lain, mungkin jawabannya akan berbeda. Kana bukan tipe orang yang mudah mengeluh, bahkan ketika merasakan kelelahan. Biasanya, ia lebih suka menyimpannya sendiri tanpa perlu menunjukkannya kepada orang lain. Namun, di hadapan Surya, segala hal menjadi berbeda. Lelaki itu adalah pengecualian dalam segala hal, yang mampu melihat sisi Kana yang tidak pernah ia tunjukkan pada orang lain.

Surya dan Kana layaknya sinar bulan yang mengembang di malam yang sepi, penuh keindahan dan kelembutan. Sebagaimana sinar bulan yang memperindah malam dengan cahayanya, hubungan mereka bersinar dalam kelembutan, keteduhan, dan kebersamaan di tengah keheningan malam yang sunyi.

Ibarat sinar bulan yang mampu menerangi kegelapan malam, Surya dan Kana memberikan cahaya dalam kehidupan satu sama lain. Kehadiran mereka menjadi penyeimbang dalam momen-momen sunyi dan kesendirian, sebagaimana sinar bulan yang memperkaya malam yang sunyi dengan kehadirannya.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang