Bagian22

708 89 20
                                    

Callie berusaha menghubungi Bi Sumi dan Pak Agus, namun tidak ada balasan. Kekhawatiran mereka semakin bertambah, dengan umpatan kasar Raisha yang tak terhitung jumlahnya dan tangisan Freya yang semakin melukai hati. Mereka benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

Tiba-tiba, Gaby muncul dengan bahu yang dibalut mitela, dituntun oleh Bi Sumi. Raisha langsung menghampiri Gaby, sedangkan Freya tetap duduk sambil menangis.

Freya hanya bisa menangis tanpa sepatah kata pun. Raisha yang awalnya skeptis terhadap keberadaan Gaby, kini melihat ekspresi wajahnya yang jelas menunjukkan rasa khawatir dan kasih sayang terhadap adiknya.

"Kenapa nangis Freyana? Kamu kenapa?" tanya Gaby dengan kekhawatiran.

"Terus lo kenapa, Sha? Kayak ngeliat hantu aja lo." sindir Gaby, tetapi kali ini dengan nada yang kebingungan.

"Anjing lo!!" umpat Raisha, meski diikuti dengan tawa. Akhirnya, mereka tahu Gaby baik-baik saja. "Lo dari mana? Kita semua panik, lo nggak ada di rumah!" seru Raisha.

"Gue dari RS.." jawab Gaby, lalu menjelaskan detail kejadian yang membuatnya harus pergi ke rumah sakit.

Saat Gaby meminta bantuan kepada Pak Agus, rasa sakit di bahunya semakin terasa menusuk. Bi Sumi yang mendengar rintihan kesakitan itu segera datang dan tidak berapa lama kemudian, Pak Agus menyiapkan mobil untuk membawa Gaby ke rumah sakit.

Di rumah sakit, Gaby mendapatkan diagnosis yang tak terduga. Bahunya mengalami cidera parah, membuatnya bingung sekaligus terkejut. Bagaimana ini bisa terjadi? Gaby merenung, berusaha mencari jawaban. Dia berusaha mengingat setiap detik latihannya, mencari tahu penyebab sebenarnya.

Dokter memberikan penjelasan, "Bahu Anda mengalami cedera serius, mungkin akibat akumulasi tekanan selama waktu yang cukup lama. Ini bukan hanya dari satu insiden, tapi mungkin juga disebabkan oleh ketidaknyamanan yang sudah lama terabaikan."

Gaby mencoba merunut kembali memori setelah pertarungannya dengan Aldo. Memang, ada rasa sakit di bahunya, tapi karena semangat dan keinginannya untuk terus berprestasi, Gaby memilih untuk mengabaikannya. Rasa sakit itu ternyata hanya menjadi pemicu yang lebih besar dari yang diperkirakan.

Dokter menyarankan Gaby untuk istirahat total dan menghindari aktivitas yang berat untuk sementara waktu. "Anda membutuhkan waktu pemulihan yang cukup, dan bermain bulutangkis harus ditunda minimal satu minggu ke depan."

Gaby merasa frustasi dan kecewa, namun dia juga menyadari pentingnya mendengarkan tubuhnya. Pelajaran berharga ini membuka mata Gaby bahwa terkadang mengabaikan rasa sakit bukanlah pilihan yang bijaksana.

Callie, yang sebelumnya hanya diam, tiba-tiba menoleh ke arah mereka dengan wajah pucat. "Terus kenapa Bi Sumi sama Pak Agus nggak angkat telepon?" tanyanya.

"Maaf non, saya dan Pak Agus panik, jadi lupa membawa HP" jelaskan Bi Sumi dengan nada penyesalan.

Gaby melihat kearah Callie, ekspresinya tampak kesal. "Udah, Call. Bi Sumi nggak salah. Mending lo cari kerjaan lain daripada marah-marah mulu.." tegur Gaby dengan nada tegas, namun masih penuh perhatian.

Callie hanya diam, merenung atas kata-kata yang baru saja dia terima. Rasa cemas dan kekhawatiran terpancar dari matanya yang pucat. Situasi rumah yang kacau membuat Callie merasa semakin bersalah, dan wajahnya mencerminkan penyesalan yang mendalam.

-----

Keesokan harinya tidak ada drama seperti pagi-pagi sebelumnya. Pagi ini Gaby masih belum ikut sarapan bersama. Callie hari ini juga tidak sekolah, karena dapat dispensasi ikut lomba pertolongan pertama lusa nanti. Raisha dan Freya sudah berangkat sekolah, Callie bingung harus melakukan apa.

Going You at a Speed of 8706 : Gabriel&CallieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang