Dengan nada suara penuh penyesalan, Gaby berbisik, "Iya Bunda, aku minta maaf ya... Musim ini aku tidak bisa membawa piala itu pulang..."
"Tidak apa-apa, sayang. Pialamu sudah banyak di rumah kan? Berikan kesempatan yang lain. Kamu ikut pertandingan, menang atau kalah, Ayah dan Bunda tetap bangga kok."
"Terima kasih, Bunda! Oiya, jangan kirimkan uang bulan ini, aku dan Freya masih memiliki banyak tabungan."
"Oke, tapi kalau butuh sesuatu langsung beritahu Bunda ya, Iel.."
Percakapan hangat lewat telepon itu meredakan sebagian beban di hati Gaby. Dari awal, ia memang sudah jujur kepada Bunda bahwa ia tidak lolos seleksi. Namun, masalah terbesarnya sekarang adalah Callie. Bagaimana jika Callie tahu alasan sebenarnya? Bahwa Gaby tidak lolos seleksi bukan karena kurangnya kemampuan, melainkan karena ia memilih bolos latihan demi menemani Callie di rumah sakit.
Pandangan Gaby sayu, kerinduan dan rasa bersalah menggelayuti hatinya. Ia sangat ingin memenangkan pertandingan itu, karena kemenangan berarti beasiswa luar negeri yang selama ini diimpikannya ada di depan mata. Namun, pilihan yang ia buat membawa konsekuensi besar.
"Kenapa lo, Gab? Sedih amat gue lihat-lihat..." tegur Raisha sambil membawa secangkir kopi. Matanya penuh perhatian menatap Gaby yang tiba-tiba menjauh saat ponselnya berdering.
Senyum tipis muncul di bibir Gaby, meskipun matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. "Nggak, Bunda tadi nelpon..." jawabnya pelan. "Oiya, anak-anak mau makan apa? Beli aja biar nggak repot..." lanjutnya tanpa menatap Raisha, sibuk mencari aplikasi untuk memesan makanan. Usahanya untuk menyembunyikan perasaannya terlihat jelas.
Raisha duduk di sampingnya, mencoba menembus tembok emosi yang Gaby bangun. "Gue minta maaf, Gab..." suaranya terdengar lirih namun penuh penyesalan. "Harusnya lo bilang sama gue, kalau gue tau waktu itu elo lagi masa seleksi, kan bisa gue yang jagain Callie..." ucapannya terpotong, ada beban berat yang menekan di dadanya. "Gue sedih nggak ketemu lo di final, gue juga sedih gue menang..."
Gaby menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa sakit yang merayap di hatinya. "Lebay lo! Kenapa? Kan kita udah bahas ini, Sha, santai lah..."
"Lo pikir gue nggak tau tentang beasiswa luar negeri itu?! Selama lima musim lo menang terus, dan kalau elo menang musim ini lo dapet beasiswa, kan?? Kenapa nggak bilang sih?!!!" Suaranya menggema dengan nada marah yang terpendam. Rasa bersalah menyelinap dalam dirinya, membuatnya sulit bernapas.
Gaby, dengan ketenangan yang luar biasa, menunggu hingga Raisha menyelesaikan ucapannya. Senyum kecil menghiasi wajahnya saat dia berkata dengan lembut, "Bukan salah lo, Sha. Itu udah jadi keputusan gue. Apa yang harus kita sedihin sekarang? Elo menang, kalaupun gue nggak dapet beasiswa itu, bukan berarti nggak ada opsi lain."
Raisha mencoba membalas, "Ya tapi kan tet—"
"Aish, dah dah ah! Gue udah bilang gapapa, jangan bahas ini lagi, atau gue aduin lo ke Mommy tentang tempo hari lo minum sama Amanda dan Giselle! Jangan kira gue nggak tau ya!!" Gaby berteriak sambil berlari ke dalam rumah, mengundang kejaran Raisha.
Raisha tidak bisa menahan senyum yang perlahan muncul di wajahnya meskipun hatinya masih bergemuruh.
Di ruang tamu yang hangat dan penuh dengan canda tawa, teman-teman mereka sudah berkumpul seperti biasanya. Amanda, Indira, Giselle, Lia, dan Callie duduk mengobrol, menikmati kebersamaan mereka. Namun, suasana tiba-tiba berubah ketika Gaby dan Raisha berlarian masuk, membuat semua mata tertuju pada mereka dengan heran. Tidak ada yang mengerti apa yang sedang terjadi, hingga tiba-tiba suara Callie menggema, memecah keheningan dan mengguncang ruangan, "GABRIELLL! RAISHA!!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Going You at a Speed of 8706 : Gabriel&Callie
JugendliteraturDi sekolah menengah SMA48, dua dunia bertabrakan ketika Gabriel, pemain bulutangkis terkenal dengan sikap dingin dan keangkuhannya, dipertemukan dengan Callista, seorang kutu buku ceria dan aktif sebagai anggota PMR. Keduanya sama-sama memiliki kepr...