37 - INDIFFERENCE

3.6K 87 3
                                    


Rama perlu ke rumah sakit, menjenguk kembali Adhyaksa. Oh... ini terlalu menjengkelkan untuk disebut peduli. Hanya inisiatif. Dan lagi, jika bukan karena masih penasaran dengan siapa dalang di balik insiden yang menimpanya, Rama seratus persen yakin jika Adhyaksa yang terjatuh pingsan kemarin malam bukanlah tanpa disengaja.

Alasan Adhyaksa terlalu klise untuk Rama percayai, kelelahan? Rasanya sejauh ini, selama apapun Adhyaksa pulang dan pergi, begitu pun dengan pulang yang bisa dikatakan jarang sekali, Rama tidak pernah mendapatinya sampai jatuh pingsan seperti itu.

Seseorang ada di balik semua ini, Rama butuh tahu siapa orang itu secepatnya.

Membuka pintu, sesuatu yang secara sadar membuatnya benar-benar tersentak.

Adhyaksa tidak ada di tempat ia seharusnya berbaring.

"Shit!" Adakah lagi yang menimpa pria itu, ini sungguh merepotkan dan Rama seharusnya tidak perlu merasa takut jika sesuatu akan terjadi akannya.

Rama tidak pernah sepanik ini.

Memacu langkah kakinya tergesa, menyusuri koridor, napas memburu Rama sedikit lebih baik dengan kehadiran Adhyaksa yang muncul dari arah kamar mandi.

Rama benar-benar tidak menyukai perasaan ini.

"Ada apa? Kenapa napasmu sampai tersengal?"

Mengalihkan pandangan, menjengkelkan harus mengakuinya. "You make me worry."

Adhyaksa pelan-pelan menarik sudut bibir, terharu. Rasanya tidak percaya dengan apa yang dikatakan putra pertamanya baru saja.

"Terima kasih banyak Rama," jawabnya halus.

Mencoba menepikan perasaan aneh yang menetap di relungnya, Rama mengubah raut. Dua orang yang sama-sama pandai bermain ekspresi, serasi bukan?

"Tadi Papa kebetulan lagi pengen ke kamar mandi," beritahu Adhyaksa, memberi penjelasan untuk Rama.

"Kenapa enggak tunggu dulu sampai perawat datang? Kenapa tiba-tiba mutusin gitu aja untuk jalan sendiri? Udah ngerasa gak papa sampai nekat pergi sendirian kayak gini?" tanya Rama beruntun, Adhyaksa rasanya benar-benar sedang diperhatikan.

"Papa gak papa, lagian letaknya juga gak terlalu jauh. Papa sanggup, kok."

Rama mengumpat, dasar keras kepala.

Menelisik kekhawatiran di kedua mata Rama, nyata. Adhyaksa bisa melihat pancaran bernama 'ketulusan' di sana dan itu hidup.

"Sudah, tidak perlu memikirkan Papa. Pergi sekolah cepat!"

Rama menggeleng. "No, before making sure you're okay."

Adhyaksa bahagia, tersentuh sekali.

Rama mendampinginya berjalan, Adhyaksa nyaris terjatuh jika Rama tidak tergesa menangkap tubuhnya.

Dan sebuah hal yang lagi-lagi memaksanya bertahan di sana, atas sebuah khawatir yang bahkan bukan keinginannya. Rama akhirnya menepikan ego. "Fine, Rama gak sekolah."

Demi Adhyaksa, kah?

-----

"CEYSA!!" teriakan melengking panjang yang pertama kali masuk ke pendengarannya, Ceysa rasa dia bisa jatuh sakit lagi jika mendengarkannya setiap hari.

Lana berjalan tidak sabaran ke arahnya. "Astaga, akhirnya lo sekolah lagi. Gue tuh udah kangen banget-banget tau gak sih?!"

Ceysa menghela napas. "Mulai deh lebaynya, orang cuma sebentar, kok."

RAMA: DANGEROUS BOY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang