47. DESPAIR AND DECISION

1.2K 49 3
                                    

"Menurutmu ... mereka saling mencintai?"

Adhyaksa pikir, malam yang telah ditunggunya akan berakhir indah seperti impiannya, Adhyaksa telah berbunga dengan pernyataan Rama yang jujur saja membuatnya bahagia tiada tara. Namun terlibat kejadian tadi, dengan Rama yang justru tiba-tiba pergi, tanpa pamit, tentu menyinggung pribadinya. Adhyaksa tidak menduga terjebak dalam sebuah hal rumit bahkan untuk menyempurnakan kebahagiaan sebelumnya.

Adhyaksa tidak diberi jeda.

Elena bergeming, wanita cantik itu masih diam seraya menatap dua remaja dalam pandangannya dengan tatap sendu, menggantung Adhyaksa beberapa lama, "Mereka berdua sudah jauh mengenal sebelum kita saling mengenal Adhy." Menarik napas, kembali menatapnya, "Ceysa dengan Rama sudah memulai cerita sebelum cerita kita dimulai."

Memusatkan pandangannya lagi, pelukan yang saling menguatkan, itu saja bagi Elena sudah lebih dari cukup untuk membuktikan jika keduanya memang telah saling terikat. Tidak peduli siapa yang lebih dahulu menyatakan, atau mungkin saja lainnya yang belum menyadari perasaan, apa yang terjadi sebelumnya sudah sangat membuat Elena memahami bagaimana ikatan antara keduanya.

"Ceysa bilang ke aku kalau Alva berkhianat. Alva main dengan gadis lain dan hubungan keduanya akhirnya berakhir. Rama yang ada untuk Ceysa di titik menyakitkannya itu. Meski aku gak tau apa yang sesungguhnya terjadi antara mereka berdua, aku sangat mengerti jika Ceysa dengan Rama bukan sekadar dua orang yang diciptakan cuma buat dipertemukan. Meski pun aku tahu Rama hanya orang yang tiba-tiba mencampuri urusan keduanya, atau apa pun yang bisa saja melibatkan mereka, pada akhirnya cuma dia yang bertahan buat Ceysa. Dia gak pergi seperti Alva yang pergi dengan menyisakan kekecewaan buat Ceysa."

Adhyaksa berpaling, sesak untuk mendengarkannya. Namun untuk menulikan pendengaran pun percuma, Adhyaksa tidak bisa mengabaikannya dan Adhyaksa butuh akan penjelasannya.

"Jadi mereka saling mencintai?"

Elena menoleh. "Tidak butuh penegasan dua kali, bukan?"

Adhyaksa berjalan menjauh, mendaratkan tubuhnya di mana dia bisa menenangkan diri sejenak dari rasa kecewa yang bertubi-tubi menghujamnya.

Elena tidak meninggalkannya, wanita itu tetap untuknya tapi tidak dengan mendukung inginnya. "Adhy ... kamu tidak mungkin mengorbankan kebahagiaan mereka, kan?"

Adhyaksa lagi-lagi memalingkan wajah, Elena tidak mengerti betapa tidak punya mukanya pria di sampingnya ini, dia tidak mengerti betapa ada yang benar-benar mengguncang egonya setelah Adhyaksa telah mantap untuk benar-benar menyatakan segenap perasaannya.

Adhyaksa merasa kehilangan harga diri.

"Kamu tidak tau Ele .... " Dia akhirnya membuka suara. "Betapa aku begitu sulit untuk melupakan Mamanya Rama, betapa tersiksanya aku dan betapa berdosanya aku setelah kehilangan dia! Aku pernah ada di antara keputusasaan dan rasa frustasi dengan kekosongan. Aku merasa sangat-sangat hampa, aku ngerasa hidup aku yang sibuk ini benar-benar gak ada artinya setelah dia gak ada. Aku hanya seperti patung berjalan, hidupku flat-dan seperti itu seterusnya Ele."

Adhyaksa tercekat, dadanya benar-benar hanya seakan dihujani ribuan duri. "Dan lalu aku ketemu kamu. Dunia yang aku pikir sampai kapan pun hanya akan seperti itu saja ... aku merubah itu Ele." Menegaskan pernyataan ini agar terdengar tegas juga di telinganya. "Setelah mengenal kamu-perasaan yang cuma diisi kekosongan dan kehampaan itu gak ada. Semua itu perlahan-lahan diisi kehangatan Ele."

Menggenggami jari-jemarinya erat. "Karena kamu, Ele. Karena adanya keturutsertaan kamu di hidup aku."

Elena menggeleng. Egonya sama-sama ingin, tapi hatinya menolak egois atas sesuatu yang Elena pikir lebih berhak untuk Ceysa dapatkan daripada dirinya sendiri. "Kita gak bisa, Adhy...!" tanpa mengabaikan gelengan kepalanya. "Kita gak bisa ngorbanin kebahagiaan anak-anak cuma demi ego kita."

RAMA: DANGEROUS BOY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang