42 - UNCOVERED

1K 78 26
                                    

Rama tidak akan pergi jika bukan Ceysa yang menginginkannya sendiri.

Itu janjinya.

Jika Ceysa tetap memintanya untuk bertahan di sini, bersamanya, Rama akan melakukan itu meski tanpa menjadi seseorang yang penting lagi dalam hidupnya.

Atau, penting karena dibutuhkan.

Rama akan tetap berada disisinya jika memang itu yang diinginkan Ceysa.

Mengantar sampai ke pintu kelas, tangannya naik mengusap rambut hitam Ceysa, membuat gadis itu lebih membaik, Ceysa sedikit demi sedikit sudah bisa tersenyum.

"Ayo, masuk kelas!"

Ceysa menatap Rama teduh, tanpa bisa mengatakan langsung padanya, terima kasih sudah rela menjadi tempatnya bersandar pagi ini.

"Kamu juga ke kelas, ya?"

"Gak janji." Ceysa sempat ingin memprotesnya, tapi tidak jadi setelah mendengarkan ucapan ini. "Tapi karena lo yang minta, gue lakuin."

Apa selama ini Rama adalah pembolos itu kenapa dia berbicara seperti itu? Tapi kenapa Ceysa tidak pernah mendengar namanya dipanggil atau bahkan melihatnya di hukum di bawah tiang bendera jika memang Rama sering melakukannya?

Rama menertawakan Ceysa, wajahnya serius sekali. Gemas, telunjuknya lalu menyentuh hidung Ceysa. "Little girl, cari gue kalau lo butuh. Gue bakalan datang," ujarnya sungguh-sungguh.

Ceysa tersenyum lagi, demi menghargai Rama. "Aku pasti cari kamu."

Rama berlalu, Ceysa rasanya masih belum percaya jika yang ditemuinya hari ini benar-benar Rama. Setiap suara yang selama ini selalu muncul di kepala, pertanyaan yang tinggal di sana, akhirnya tersamarkan oleh semua kejujuran yang Rama beri padanya di rooftop tadi.

Ceysa lega sekali.

Mengangkat tali tasnya, Ceysa seperti merutuki ucapannya satu menit lalu. Perasaannya gelisah lagi. Satu hal yang masih belum bisa Ceysa terima sebagai kenyataan, seseorang yang malam tadi menyatakan putus padanya, menyatakan jika hubungan keduanya selesai saja.

Alva, dengan mudahnya mengambil alih pikirannya sekarang.

Langkah Ceysa menuju kursinya tiba-tiba ciut, ketika Ceysa dengan ingin kembali menujukan arah padanya, Alva diam. Tidak ada respon, tubuhnya tidak bergerak sedikit pun seperti yang Ceysa mau.

Padahal Ceysa mengharapkannya, sangat.

Alva, sudah benar-benar tidak peduli, ya?

Hati Ceysa rasanya kembali perih jika memang itu kebenarannya.

"Hey, bengong aja!" Ceysa tersadar oleh Lana yang menyikut lengannya, mengambil duduk di sampingnya.

Cepat sekali, Ceysa bergegas merubah ekspresinya jadi biasa saja seolah tidak pernah terjadi apa pun sebelumnya.

Tapi Lana tetaplah Lana. "Kok mata lo sembab gini, sih? Lo abis nangis, Cey?"

Ceysa langsung melepaskan tangkupan Lana di pipinya. "Apaan sih, Lan? Nangis kenapa coba?"

Menetralkan lagi ekspresinya, hanya Rama saja yang tahu tentang retaknya hubungan Ceysa dengan Alva, tidak dengan Mamanya, tidak juga dengan Lana. Ceysa belum siap jika mereka harus tahu.

"Seriusan gak papa?" tanya Lana, mendesak.

Ceysa mengangguk kecil, berpura-pura membuka ponselnya yang akhirnya membuat Lana kesal sendiri karena merasa diabaikan. Ceysa bersyukur sekali karena Lana jadi teralihkan olehnya.

Diam-diam, Ceysa kembali mengangkat pandangannya pada Alva. Tentang foto dari orang tidak dikenal yang dikirimkan padanya, menyayat perasaan Ceysa lagi. Sosok yang selama ini pernah menjalin hubungan bersamanya dalam kejujuran, keceriaan juga kasih sayang, Ceysa tidak percaya jika benar-benar Alva yang melakukannya.

RAMA: DANGEROUS BOY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang