39 - THE MOST PAINFUL WOUND

3K 123 33
                                    



Pagi ini benar-benar kesialan bagi Alva.

Seragamnya tiba-tiba ditarik oleh seseorang yang datang tergesa padanya disusul pukulan yang sangat kencang di sudut bibirnya.

RAMA. Benar-benar sialan!

Alva meludah ke kiri sebelum kerah seragamnya ditarik lagi, tubuhnya merapat hingga matanya dapat melihat pancaran emosi yang tengah ditujukan Rama untuknya.

"Kenapa lo ninggalin Ceysa?" tanya Rama menggertak, meminta penjelasan Alva tentang apa yang terjadi pada Ceysa semalam.

"Gue gak bodoh kalau lo tau tempat apa sebenarnya di sana." Rama menyentak cengkramannya hingga Alva seperti tercekik. "Asal lo tau aja, Va. Dia diintai, dia hampir dilecehin beberapa orang yang nyegat dia di sekitar tempat itu!"

Alva menyentak lebih kencang hingga cengkraman Rama di seragamnya terlepas.

"Lo bisa lihat ini?" tunjuk Alva pada luka di wajahnya, tampak masih basah dan cukup parah. "Gue juga dicegat orang-orang yang gak gue kenal dan dikeroyok. Gue gak tau selebihnya yang terjadi, karena gue udah ada di tempat yang berbeda ketika gue bangun!"

Rumah sakit, itu tempat berbeda yang hendak dimaksudkan Alva pada Rama.

"Oh, ya? Lo pikir gue percaya?" Rahang Rama mengeras, dia tidak akan pernah ragu jika harus menghabisi Alva di sini meskipun dia adalah Adiknya sendiri.

"Lo yang bawa dia ke sana, lo yang bawa dia dalam bahaya itu."

Menipiskan bibir, Rama menggeleng tak percaya. "Lo tau ada seseorang yang hampir lo lukai kewarasannya sore itu dan dia cewek lo, Va! Cewek lo!"

Alva tertawa miris, tapi cukup menyenangkan baginya melihat Rama yang semarah ini.

Langka sekali.

"Gue juga make otak gue, Ram. Dan gue gak akan pernah narik seseorang yang gue sayangi ke dalam sebuah bahaya," Alva berhenti tepat sejengkal tubuhnya akan menabrak Rama. "Kecuali kalau orang itu udah gak ada harganya di mata gue."

Rama spontan menarik lebih kasar kerah seragam Alva detik itu.

"Kak Rama berhenti!" Rama tertahan, dia benar-benar terpaksa melepaskan Alva setelah mendengar teriakan di belakangnya disusul langkah kaki yang terburu-buru.

Tubuhnya beku di tempat tanpa dia mau.

Ceysa, gadis itu berhambur pada Alva dan memeluknya.

Di hadapannya, di depan kedua matanya.

Seakan Rama bukan siapapun, tapi bukannya memang seperti itu dirinya bagi Ceysa? Rama seharusnya tidak perlu merasa gelisah dengan kenyataan yang memang harusnya terjadi seperti semestinya. Inilah konsekuensi yang harus diterimanya.

Alva mengangkat pandangannya pada Rama dalam pelukan Ceysa yang masih erat di tubuhnya, menarik senyum miring.

Senang sekali melihat Rama yang tak berkutik dengan semua kemunafikan ini.

Ceysa mengurai peluk, seperti tersadar akan kebodohannya yang terlupa akan keberadaan Rama di sana, di belakangnya. Arahnya tergerak pada cowok itu, menatapnya dengan rasa bersalah.

"Ram! Ke kantin ayo!" teriak Abra yang dengan kebetulan muncul sejurus dengan tempat Rama bertumpu sekarang, bersama Kafa di sampingnya.

Sebelum melangkah pergi, Rama sempat mengangguk pada Ceysa sebagai isyarat, begitu juga dari keteduhan matanya, seolah-olah dia tengah berucap 'tidak apa-apa.'

Lagipula, memang ini yang seharusnya berlaku, kan?

Ceysa kembali lagi pada Alva selepas kepergian Rama, tangannya naik menangkup, tatapannya juga spontan tertuju pada luka di wajah cowok itu. "Apa yang terjadi, Va? Kenapa bisa kayak gini?"

RAMA: DANGEROUS BOY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang