01 - IF BESIDE YOU

24.3K 516 10
                                    

"Kamu tungguin di sini, jangan ke mana-mana, oke? Kalau misalkan ada yang datang, jangan diliat. Kalau ada yang ajak kamu ngobrol, jangan diladenin. Anggap dia orang gila yang tiba-tiba muncul."

Ceysa terpikir sejenak, memangnya ada orang gila di rumah sebesar ini seperti yang dimaksud Alva pacarnya? Sebentar kerutan itu tercetak di keningnya, sebelum mengangguk kaku. Lalu olehnya, akhirnya Alva dapat pergi dengan lenggang meski tidak bisa cukup tenang dengan sesuatu yang terbesit di pikirannya tadi.

Karena biasanya, itu akan benar-benar terjadi.

Ceysa menjatuhkan tubuhnya di sofa, membuka ponselnya. Mungkin Alva tidak akan lama, tapi menunggu seperti ini tetap saja rasanya menjengkelkan.

Membuka room chatt-nya dengan Alva, sesekali terkekeh geli dengan kata-kata romantis cowok itu yang sekarang rasanya aneh. Hubungan mereka sudah berlangsung kurang lebih dua tahun.

Satu hari sebelum melepas masa putih biru, sebelum diresmikan lepas dari nama sekolah, Alva yang awalnya hanya mendekati lewat chat akhirnya memberanikan diri mengutarakan perasaannya.

Jika ingat itu, aneh saja. Sekarang sikap Alva sudah lebih dewasa dan tidak lagi memperlihatkan perasaannya lewat kata, tapi perlakuan yang lebih bernilai bagi Ceysa.

Memutuskan untuk kembali mengambil sekolah yang sama ternyata tidak disesali Ceysa. Banyak yang berubah dari diri Alva.

Mulai dari cowok itu yang lebih memperhatikan penampilannya, lebih berkharisma jika di sekolah, dan selain itu, Ceysa sering dengar jika Alva adalah bintang kelas, lalu beberapa rumor tentang gadis Pelita yang diam-diam menyukai sampai menuliskan perasaan mereka lewat coretan mading, atau hal yang paling pengecut, tentang coklat dan bunga di ransel.

Yang entah apa alasannya, Alva benci dua benda itu.

Untuk Ceysa sekali pun, sejak berpacaran, Alva tidak pernah memberinya sekali saja coklat atau bunga. Terkadang, Ceysa sendiri bertanya-tanya. Memang apanya yang salah dari coklat dan bunga itu?

Di sisi lain, Ceysa merasa jadi gadis yang beruntung karena Alva masih menetapkan hati untuknya, sampai hari ini.

"Gak nyangka ya, Va, udah sejauh ini?"

Ceysa terkejut oleh gebrakan di pintu, menegakkan tubuhnya tanpa mau mengalihkan pandangannya ke arah lain, tapi mengerjap takut. Wajah cowok yang muncul di pintu itu, tampak mengerikan dengan luka-luka lebam di pipi, rambut berantakan, tatapan tajam hingga kesulitan menyeimbangkan tubuh.

Satu kesialannya, cowok itu berjalan ke arahnya sekarang.

"Gimana caranya bisa ada bidadari di tempat ini? Apa minum terlalu banyak bisa bikin gue jadi halusinasi seperti ini?"

Ceysa menahan napasnya mencium bau yang sangat pekat dari jaraknya dengan cowok asing itu, alkohol. Dan dia pasti sedang dalam kendali minuman itu sekarang.

"Siapa nama lo?" Ceysa mencoba untuk tidak merinding saat udara dari suara yang keluar dari bibir cowok ini, berhembus di depan wajahnya.

Tanpa berminat menjawab, dia teringat ucapan Alva tentang 'jangan diliat, jangan diladenin, dan anggap dia orang gila.' Opsi terakhir memang sangat mirip untuk mempresentasikan orang ini!

"Hey, gue nanya lo. Lo pikir gue apa, hah? Gue bukan patung pancoran."

Benar, kan. Omongannya saja melantur. Ceysa semakin merinding, dia memilih mengalihkan wajahnya, bergerak tidak tenang sesekali menggosok-gosok lengannya.

Ceysa bisa merasakan cowok gila itu semakin dekat.

Bayangkan, suara halus seraknya saja sudah membuatnya tidak nyaman. Bayangkan saja di posisi Ceysa dengan orang yang tidak dikenalinya itu. Lebih parahnya, otak Ceysa tidak bisa diajak positive thinking karena ekspresi cowok itu tadi seakan punya arti.

RAMA: DANGEROUS BOY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang