41. PRIA DAN GAGAK

1.9K 124 20
                                    

19.00

Laki-laki cantik menatap seisi condominiumnya lalu menunduk berganti pada koper hitam di samping kaki panjangnya, helaan nafas terdengar begitu berat.
Dia bawa langkahnya keluar segera bergegas menyusuri lorong setelah mengunci pintunya.

Dia seret koper itu di tangan kiri dengan tangan kanan menggenggam ponsel yang ia tempelkan ke telinga.

"dimana?" tanya Nata saat panggilannya di angkat.

"di depan condo."

"baiklah."
Nata matikan sambungan teleponnya memasuki lift seorang diri.
Ia tatap koper di depan kakinya berpindah pada pantulan dirinya di lift. Dia tatap lama-lama manik bulat yang bengkak akibat menangis semalaman, pikirannya melayang namun sudah bulat dengan tekatnya.

Nata keluar lift menapaki lantai dingin menuju pintu utama bangunan tinggi tersebut, berjalan mendekat ke mobil Nara.
Dia diam sejenak memandang langit malam yang nampak mendung seolah bersedih atas keputusan yang ia ambil.

"ayo." ucap Nara membuka separuh kacanya dan Nata segera masuk.

"kamu yakin Nat?" tanya Nara yang berada di dalam mobil duduk berdampingan dengan Nata, mereka dalam perjalanan menuju bandara dengan Jacob yang berada dikursi kemudi.

"tidak ada harapan lagi Nar." ucap Nata dengan ujung bibir tertarik tipis, terlihat jelas senyumnya sedang dipaksakan.

Nara diam, ingin menjalankan rencananya namun takut jika semuanya gagal maka Nata akan tersakiti kembali namun dia juga tak ingin Nata kembali ke Jepang.
Pria tampan itu melirik Nata yang tengah menatap pepohonan di luar jendela mobil membuat ia berpikir sejenak lalu merogoh sapu tangan di saku celana bahannya.

Nara memiringkan tubuhnya meneteskan sedikit cairan bius ke sapu tangan lalu membekap hidung Nata dari belakang.

Nata memukul-mukul tangan Nara namun tak kunjung di lepas, lama-kelamaan ia merasa lemas dan tak sadarkan diri, Nata pingsan.

"putar balik." titah Nara dan Jacob hanya mengangguk menuruti perintah tuannya.

•••

Awan putih keabu-abuan berbondong-bondong merapatkan diri seakan tengah sibuk menyembunyikan cantiknya rembulan dari seorang pria yang duduk termangu di rerumputan taman belakang mansion miliknya.
Mata telanjangnya menatap jauh ke atas merasa hampa seolah telah kehilangan sesuatu yang berharga.

"Chen." pria itu tersentak saat namanya di panggil, memutar separuh badannya lengkap dengan senyum manis yang di pamerkan.

"aku ingin bicara." lanjut Levi mulai ikut duduk tak jauh dari Rachen.

"kamu benar-benar tidak ingat kak Nata?" netra tajamnya memicing merasa aneh kenapa semua orang semakin sering menanyakan hal yang sama.

"Chen aku sudah lelah terus menuruti amnesiamu."
"sampai kapan kamu tidak berusaha mengingat seseorang yang kamu cintai?" Levi tatap paras tampan di depannya dengan mimik muka serius.

"bukankah kamu tau, hanya kamu yang aku cintai."
Levi menggeleng.

"kau yakin mencintaiku?" Rachen mengangguk.
"jika kamu mencintaiku kenapa harus ada kata bukankah dari pernyataanmu seakan perasaanmu sedang ragu?" Rachen diam.

"aku lelah harus merasa tak enak hati dengan kak Nata dan juga Nara, Chen."
"aku ingin memaksamu mengingatnya tapi kak Nata selalu mencegah karna dia tidak ingin melihatmu kesakitan."
"kak Nata yang terus menjagamu disaat kamu belum juga sadar."
"kak Nata yang menangis meraung saat nyawamu di ujung tanduk."
"kak Nata yang menangis bersujud di kaki daddy Bright untuk mendonorkan ginjalnya."
"kak Nata yang berlari dari rumah sakit tanpa alas kaki hanya ingin melihat rumah barumu karna dia kira kamu sudah pergi."
"dan sekarang kak Nata menyerah Chen."
"malam ini dia pulang ke Jepang."
"kamu tidak berniat menyusulnya?"
jelas Levi panjang lebar, laki-laki imut itu meneteskan airmata merasa iba dengan Nata yang terasa begitu menyakitkan.

Rachen diam, mendengar semua kebenaran Levi memunculkan bayangan hitam acak di benaknya. Rachen memejam merasa pening.

"ayo ikut aku." ucap Levi yang sudah berdiri mencubit tipis kaos hitam Rachen di bahu dan Rachen mengikuti arah Levi, berjalan memasuki mansion menaiki tangga berbelok menuju kamar paling ujung, membawa Rachen masuk.

"lihatlah, lihat Chen."
"ini semua lukisan kak Nata saat dia kamu bawa kemari."
"yang kamu ingat kamar ini kosong kan? sekarang lihatlah."
"itu..." tunjuk Levi pada satu lukisan seorang pria.

"itu wajahmu kan." tegas Levi.

Tilikan tajam Rachen mengabsen semua lukisan yang terpajang rapi di tembok, dia pandang lama-lama lukisan pria dan seekor gagak.
Rachen berjongkok menekan kepalanya kuat-kuat menjambaknya saat merasa bayangan hitam lewat silih berganti dengan cepat bak film rusak.

"aaaarrrggghhhh." erangannya terdengar begitu menyakitkan dan tak lama ia tergeletak tak sadarkan diri membuat Levi turun ke bawah meminta bantuan kepala pelayan dan memanggil dokter pribadi Rachen.

~
"tidak apa-apa."
"otaknya hanya belum menerima fakta yang terlalu tiba-tiba."
"sebaiknya jangan terlalu dipaksakan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak di inginkan." jelas dokter.

"baik dok."

"kalau begitu saya permisi." pamit dokter dan Levi ikut keluar berniat mengantarkan dokter keluar mansion, berjalan sejajar dan terus mengobrol.
Setelah sampai di tangga terakhir atensi mereka teralih pada satu orang yang menggendong laki-laki cantik tak sadarkan diri diikuti asistennya menyeret koper hitam.

"perlu saya periksa?" tanya dokter melihat orang yang memejam di gendongan Nara sedikit aneh.

"tidak perlu dok." cegah Levi, ia menggerakkan kepalanya ke tangga dan Nara yang paham segera melenggang menaiki anak tangga menuju lantai dua.

"kakak saya hanya sedang tidur."
Levi tersenyum tipis.

"pak tolong antar dokter ke depan." ucap Levi pada kepala pelayan yang baru turun dari lantai atas.

"baik tuan."

Levi bergegas menaiki tangga mengejar Nara.

"mau kemana?" tanya Levi saat melihat Nara membuka kamar Rachen dan pria itu segera putar balik saat Levi menunjuk kamar paling ujung. Mereka berjalan cepat memasuki kamar yang pernah di tempati Nata.

Tanpa banyak bicara Nara segera merebahkan Nata di samping Rachen, sedikit memiringkan tubuh Nata menggerakkan Rachen untuk memeluk laki-laki cantik itu dari belakang.

"ayo." ucap Levi menggoyangkan kunci kamar ke udara dan Nara segera berjalan keluar.
Mereka mengunci kamar dari luar kemudian berpelukan.

"kenapa ada dokter?" tanya Nara penasaran, melonggarkan pelukannya menatap wajah imut Levi.

"aku terlalu memaksanya mengingat kak Nata dan dia malah kesakitan."
"maaf." Levi sedikit menunduk dan Nara kembali memeluk Levi.

"tak apa." Nara mengusap rambut Levi.

"bagaimana jika Rachen marah besok?" tanya Levi sedikit khawatir.

"aku yang akan menghadapinya." ucap Nara mengusap punggung Levi penuh sayang.

"aku rindu." ucap Levi tersipu malu menyembunyikan wajahnya di dada Nara.

"apa?"
"coba ulangi?"

"aku rindu." ulang Levi tertahan dan tawa besar Nara terdengar bersamaan dengan semakin erat pelukannya pada kekasih yang juga dia rindukan.

"kenapa lucu sekali." ucap Nara mengecup puncak kepala Levi beberapa kali.
Rindu yang menggebu membuat sepasang kekasih itu lupa bahwa mereka masih berdiri di depan kamar Nata.

"pulang ke condo?"
"atau ke mansion mommy?" tanya Nara melerai dekapan nyamannya.

"ke mommy."

"baiklah melucuuuuuur." ucap Nara menggendong Levi berlari kecil membuat laki-laki imut itu terkekeh pelan.








jangan lupa tap vote dan komennya phi-phi ku sayaaang💛💛

TERIMAKASIH💛

SEE YOU NEXT CHAPTER🔥

REVENGE || JOYLADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang