Hari ketiga setelah kepergian Sari, keluarga yang ditinggalkan masih sesekali menangis. Apalagi saat sedang makan bersama. Ingatan tentang Sari terlalu membekas untuk mereka. Tiga hari ini baik Praya maupun Emil, keduanya masih menginap di rumah orang tuanya. Tiap selesai salat magrib, keluarga itu berkumpul untuk membacakan doa-doa kepada Ibu tercintanya.
Mereka sudah berdiskusi tentang bersama siapa Hartono akan tinggal. Tidak mungkin untuk pria itu tinggal sendirian di rumah, walau ada asisten rumah tangga dan juga supir, tapi kedua anaknya tidak ingin membiarkan Ayahnya seorang diri, setidaknya salah satu diantara mereka tinggal bersama Ayahnya.
Hartono menolak, dia berkeras untuk tetap tinggal di sana, walaupun harus sendirian. Dia tidak bisa meninggalkan rumah yang penuh kenangan masa tua bersama istrinya. Lagipula dia tidak takut jika harus sendirian. Dia ingin terus dekat dengan istrinya, dengan tetap tinggal di rumah itu.
Yang akhirnya dibuat kesepatakan, Emil sekeluarga yang pindah. Praya dan Gaura juga mengusulkan diri untuk mereka saja yang menemani, karena akan ribet juga kalau Emil yang pindah, anggota keluarganya banyak. Sedangkan Praya hanya berdua saja dengan Gaura. Tapi Emil malah berpikir, justru akan semakin mudah kalau mereka pindah ke rumah orang tuanya. Ada supir orang tuanya yang bisa mengantar anaknya sekolah, bukan dia lagi yang mengantar anaknya.
Praya juga akhirnya setuju, jika memang itu yang Emil inginkan. Sejak kemarin, Abangnya sudah mulai melakukan pindahan. Jarak rumah orang tuanya memang lebih jauh dari kantor daripada rumahnya sendiri. Tapi rasanya itu bukanlah masalah besar.
Siang ini Praya sudah permisi untuk pulang ke rumah. Dan besok dia memutuskan untuk masuk kantor lagi. Bagaimana pun, hidup harus terus berlanjut. Tinggal tanpa kegiatan begitu malah membuatnya semakin kepikiran pada Ibunya. Gaura tidak banyak berkomentar, dia hanya terus berada di samping pria itu.
Hari kedua menjadi hari yang cukup berat. Gaura terbangun dari tidurnya karena merasakan Praya menangis, saat dicek, pria itu masih menutup matanya, Praya bermimpi.
"Mas... Mas..." Panggil Gaura berulang kali, tangannya mengguncang Praya agar terbangun.
Nafas pria itu memburu, saat matanya terbuka, hal pertama yang dilakukannya adalah memeluk Gaura dengan begitu erat. Ntah apa yang ada di dalam mimpinya, Gaura tidak mempertanyakannya. Dia mengelus punggung suaminya. "Kamu cuman mimpi, Mas." Ucapnya berusaha menenangkan.
Ketika merasa Praya lebih tenang, Gaura berdiri mengambilkan air yang tersedia di kamar. Tangannya membantu Praya untuk meminum airnya. "Tidur lagi, Mas." Gaura menidurkan suaminya, kembali memeluknya dengan erat. Mengelus punggungnya berkali-kali. Untuk sesaat, Gaura merasakan sisi Praya yang lain. Pria itu ketakutkan. Maka Gaura akan menjadi penenang untuknya.
Praya menolak sarapan sampai makan siang pun dia tidak berselera. Kehilangan itu baru terasa. Dan Praya benar-benar merasa jiwanya kosong setelah dia akhirnya menerima kenyataan bahwa kemarin, pemakaman Ibunya bukanlah sebuah mimpi belaka. Itu benar-benar terjadi.
Gaura membuka pintu kamar, matanya menangkap Praya yang tampak lesuh berbaring di kasur. Dia menghampiri suaminya. Tangannya mengangkat nampan berisi makanan. Gaura duduk di pinggir ranjang setelah meletakkan nampan itu di meja.
"Mas, makan yah, sedikit aja." Pintanya lembut. Tangannya membelai rambut suaminya.
Praya menggeleng.
"Ayolah Mas, makan, sedikit aja. Kamu harus makan, yah," ajaknya lagi, masih berusaha membujuk suaminya yang menolak makan dari pagi.
Praya kembali menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOLERATE IT
Любовные романыGaura terlalu terpaku dengan hidup nyamannya hingga tidak pernah terpikir untuk menikah. Tapi tanpa dia ketahui, ternyata Ayahnya memberikan syarat padanya jika ingin melanjutkan pendidikan doktornya. Yaitu, dia harus menikah. Lebih buruknya lagi, t...