21: jiwa yang indah

725 55 1
                                    

                3 tahun pernikahan.

Siang yang berjalan seperti biasanya tampak terasa berbeda di satu rumah itu. Orang-orang berdatangan, kompak memakai baju berwarna hitam. Isakan tangis terdengar memilukan telinga. Meraung, menjerit, tidak percaya bahwa orang yang disayangi telah pergi. Rohnya telah meninggalkan raganya pergi ke alam yang berbeda. Pertanyaan begitu banyak di kepalanya. Beribu-ribu penyesalan hadir di dalam hatinya. Tapi sebanyak apa pun, sekuat apa pun, se tidak ingin apa pun. Semuanya sudah terjadi. Tuhan telah berkehendak. Maka manusia hanya bisa menjalaninya dengan pasrah.

Gaura menggengam jemari suaminya dengan begitu erat. Tiga tahun menikah, Gaura tidak pernah melihat Praya menangis. Dia pikir, suaminya tidak akan pernah menangis, bahkan untuk apa pun itu. Tapi nyatanya, pria itu ternyata juga manusia, pria itu menangis. Dan Gaura bisa merasakan sesak dari tangisan Praya di sampingnya. Praya tidak meraung-raung. Tidak pula menjerit. Pria itu diam. Air matanya mentes satu persatu dari pelupuk mata. Tanpa suara.

Subuh di hari jumat ini, ketika dia baru saja menunaikan kewajibannya. Telfonnya berdering. Begitu mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh orang yang menelfonnya, Praya terdiam di tempatnya cukup lama. Mencoba mencerna apa yang dia dengar. Kemudian Gaura mengambil alih telfon itu, dia bingung melihat Praya yang terdiam bagai patung. Sepersekian detik, Gaura lemas, tubuhnya separuh bergetar.

Sari meninggal dunia.

Diantara semua hal yang ada dipikirannya. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan akan mendengar kabar itu. Hatinya sakit sekali. Gaura memeluk suaminya, bahkan disaat Gaura sendiri sudah menangis, Praya masih terdiam di tempatnya. Tangan kecilnya mengelus punggung Praya yang lebar. Memberi kekuatan untuk pria itu.

Saat kesadaran itu sudah kembali, Praya akhirnya menangis. Mereka segera ke rumah orang tuanya. Gaura menyempatkan untuk menyiapkan kameja hitam untuk Praya sedangkan dia memilih pakaian seadanya untuk dipakai.

"Mas biar aku aja yang bawa mobilnya!" Gaura mengambil kunci yang dipegang Praya. Bahkan disaat ini Pria itu masih berinisiatif untuk mengemudi.

"Biar aku saja."

Gaura menghela nafasnya. "Mas, biar aku aja yang bawa! Sekarang masih subuh jalanan belum ramai. Kamu nggak bisa bawa mobil, Mas. Sadarin diri kamu!" Katanya separuh berteriak. Mereka tidak ada waktu untuk sekedar berdebat tentang ini.

Gaura menyempatkan diri untuk menelfon orang tuanya, Basri dan Riani. Keduanya terkejut dan akan ke sana sekarang juga.

Mereka tiba di rumah hangat yang biasanya mereka datangi dengan bahagia itu kini terasa begitu dingin. Biasanya, saat datang ke sana, mereka akan disambut oleh wanita cantik dengan senyuman lebar, menyambut mereka dengan begitu hangat. Namun sambutan itu sudah tidak ada. Rumah itu belum ramai. Baru ada Emil-Abangnya- dan Sarah serta kedua anaknya. Hartono ada di sana, duduk termenung di samping istrinya yang terbaring.

Gaura membantu Praya yang melangkah lemah, tubuhnya bergetar. Nafasnya terasa begitu sulit. Tangisnya seketika pecah saat Emil datang kepadanya, memeluknya dan menangis bersama. Tangisan keduanya terdengar begitu memilukan, menjerit di dalam hatinya yang terpendam. Untuk mereka berdua, Sari adalah ibu yang luar biasa. Membesarkan dan mendidik mereka dengan begitu sempurna, tak ternilai harganya.

Gaura memeluk Sarah yang juga menghampirinya. Sebagai seorang menantu. Keduanya merasakan hal yang sama. Mungkin Sarah lebih dulu, lebih banyak waktu yang dihabiskan bersama Sari. Tapi rasanya, Gaura sama kehilangannya. Sosok Sari terlalu sempurna sebagai Ibu Mertua. Wanita itu menyayangi mereka sama seperti anaknya sendiri. Kadang, Gaura benar-benar merasa kasih sayang Sari sama persis dengan yang diberikan Riani untuknya.

TOLERATE ITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang