10: sebuah bangunan dan ceritanya

1K 70 1
                                    

                Sudah satu minggu mereka resmi tinggal berdua dengan kegiatan dan kesibukan masing-masing. Gaura mulai menikmati perannya sebagai istri, menyiapkan sarapan seadanya, biasanya hanya roti selai, salad dan paling mentok nasi goreng. Praya tidak banyak berkomentar, apapun yang Gaura hidangkan akan dia makan. Gaura sendiri tidak merasa begitu berbeda karena sejak kuliah dia sudah terbiasa menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, sekarang dia hanya perlu menambah jumlah porsinya.

Gaura lebih sering pulang lebih dulu dibanding Praya, belum lagi jika pria itu ada apel malam sehingga Praya pulang semakin lambat. Gaura menyetir sendiri, walau awalnya Praya bersikeras untuk mengantarnya tapi tetap saja sulit, keduanya punya kesibukan yang berbeda. Jam kerja Gaura tidak menentu, tergantung jam mengajarnya dijam berapa. Kadang dia baru ke kampus siang, sedangkan Praya tentu sudah harus berangkat pagi.

Karena itu mau tidak mau Praya harus membiarkan Gaura untuk menyetir sendiri, tidak lupa untuk terus memperingatkan istrinya untuk berkendara dengan hati-hati. Rutin memberi kabar jika sudah sampai. Gaura menurut, dia paham alasan Praya melakukannya dan dia sudah sangat terbiasa karena sikap protektif Ayahnya yang bahkan lebih parah, syukur-syukur sekarang dia sudah terbebas dari Om Rio.

"Sejak kapan kamu bisa masak?" Tanya Praya yang sedang duduk di meja makan sembari memperhatikan Gaura yang sibuk di dapur.

Perempuan itu sedang berkutat untuk menyelesaikan makan siang di hari sabtu ini. Gaura bisa memasak, walau tidak terlalu pandai, tapi untuk masakan sederhana dia masih mampu menyajikannya dengan baik. Hari ini dia memilih tempe goreng tepung, ayam kecap serta sayur sop sebagai menu makan siang. Praya bukan tipe pria yang pemilih makanan, hampir semua bisa dimakannya.

Ditengah kegiatannya Gaura menjawab, "Udah dari lama bisa, Mas. Makin bisa pas kuliah."

"Oh ya? Aku kira di sana kamu beli di luar terus."

Gaura memindahkan pandangannya, menatap Praya yang ternyata sudah memperhatikannya sejak tadi. "Yah nggak lah Mas, aku malah lebih sering masak daripada beli."

"Kenapa? Bukannya makanan di sana mirip-mirip yah?"

"Iya bahkan nasi kandar di sana tuh enak banget loh. Tapi aku jarang makan sih, bahaya kalau sering-sering," kata Gaura sambil tertawa kecil.

"Terus di sana kamu masak apa?"

Sambil mengaduk tumis kangkungnya, Gaura menjawab. "Makanan simple gini Mas."

"Aku pikir kamu nggak bisa masak loh," kata Praya mengutarakan isi pikirannya. Dia memang tidak pernah mempertanyakan hal ini pada Gaura, lagipula mau Gaura bisa memasak atau tidak itu tidak berpengaruh sama sekali. Itu bukanlah hal yang menurutnya penting itu ditanyakan.

Gaura kembali menatap Praya begitu mendengar pengakuan pria itu. "Kok Mas mikir gitu?"

"Kenapa yah? Karena kamu sibuk kuliah dan malas untuk bersentuhan dengan dapur, mungkin?"

Gaura tertawa, "Nggak lah Mas, aku malah seneng masak. Kenapa juga mikirnya begitu sih? Jadi perempuan itu memang nggak dituntut untuk pintar masak, tapi menurut aku sebagai perempuan kita harus bisa segalanya, setidaknya yang basic-nya aja deh."

"Sebenarnya bukan untuk perempuan saja, lebih tepatnya sebagai manusia penting untuk kita bisa melakukan segala hal." Gaura mengangguk setuju.

"Mas emangnya pinter masak?"

Praya tersenyum tipis lalu mengangguk, "Bisa. Kamu pikir siapa yang ngasi makan aku pas tugas di luar?"

TOLERATE ITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang