7 tahun pernikahan
Terkadang Gaura masih tidak menyangka jika melihat putra dan suaminya sedang bermain bersama. Rasanya dia masih tidak menyangka bahwa hidup ternyata semenyenangkan ini. Gaura masih ingat betul, Praya pernah mengatakan padanya bahwa ada orang yang hadir di dunia ini untuk membuat kita kuat. Dan meski sekalipun orang itu akan meninggalkan kita, kita tidak akan pernah menyesal, karena setidaknya, kita pernah bersama dengan orang itu diwaktu yang begitu berharga.
Dan kini Gaura akhirnya bisa mengerti apa yang dikatakan Praya.
Gaura berhasil meraih gelar doktornya diusia Hafizh satu tahun atas dukungan-setengah paksaan- dari Praya. Bahkan disaat harusnya suaminya itu menuntut untuk dia menaruh seluruh perhatian pada putranya, Praya malah memberinya dukungan untuk tetap menyelesaikan kuliahnya yang sedikit lagi selesai. Pria itu masih tetap sama. Dukungan dan doanya selalu diberikan untuknya.
Gaura juga sudah kembali aktif mengajar walau dia tidak mengambil banyak kelas offline. Baru setelah Hafizh dua tahun, dia mulai mengajar normal lagi. Terkadang dia menitipkan Hafizh pada Maminya atau justru membawa Hafizh bersamanya. Tapi Gaura tidak pernah mengganggu waktu yang sudah dia tetapkan untuk putranya. Anaknya itu berhak mendapat kebebasan atas waktunya sendiri.
Sejak satu tahun Hafizh, Gaura sudah mengajarkan anaknya itu untuk tidur sendiri di kamar tamu yang mereka ubah menjadi kamar untuk Hafizh dengan conecting door. Walau rasanya sulit untuk berpisah dengan putra kecilnya itu, namun Gaura harus kuat dan konsisten agar Hafizh bisa hidup dengan teratur.
Tentu Gaura banyak berdiskusi dengan Praya untuk cara mendidik anaknya. Walau ternyata Praya lebih tidak tegaan kepada anaknya. Suaminya itu sering kali menjadi tameng Hafizh ketika anaknya sedang rewel tidak mau mengikuti aturan dari Gaura.
Gaura tersenyum melihat Hafizh yang selalu bersemangat untuk ikut bersama Ayahnya salat jumat. Gaura sudah selesai mengancingkan baju putih untuk anaknya yang kini sudah tumbuh besar. Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia berjuang untuk melewati trimester pertamanya yang sangat menguji kesabaran.
"Udah siap nih, Yah, anaknya," Gaura mengangkat bocah tiga tahun itu ke gendongannya, mendekat pada Praya yang sedang menyisiri rambutnya yang setengah basah menggunakan jari-jari.
Praya tersenyum, dia memasang peci hitamnya lalu mengambil putranya ke gendongannya. "Ganteng sekali anak Ayah," dikecupnya pipi gembul Hafizh, anak itu memeluk leher Ayahnya sambil tertawa senang. Gaura kadang iri melihat anak itu yang begitu menyayangi Ayahnya, padahal, dia yang lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya.
"Mas nanti jangan dikasih jajan anaknya, langsung pulang aja," kata Gaura mengingatkan.
Kejadian jumat lalu membuat Gaura hanya menggeleng-gelengkan kepala saat mereka berdua baru pulang dari salat jumat, dan Hafizh sudah tertawa-tawa senang sambil mengemut permen. Padahal Gaura belum membiarkan anaknya makan permen sembarangan. Tapi lagi-lagi Praya berkata tidak apa. Hanya sekali ini saja. Maka untuk hari ini dia sudah memperingati dari awal.
"Iya langsung pulang, kok."
Sejak umur dua tahun, Praya selalu membawa Hafizh bersamanya untuk salat jumat. Tidak jarang anaknya itu yang malah lebih bersemangat untuk ikut. "Ayo, Yah," ajak Hafiz tidak sabar.
Gaura menggeleng-geleng melihat keduanya.
"Pergi dulu, Bu," pamit Praya kepada istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOLERATE IT
Любовные романыGaura terlalu terpaku dengan hidup nyamannya hingga tidak pernah terpikir untuk menikah. Tapi tanpa dia ketahui, ternyata Ayahnya memberikan syarat padanya jika ingin melanjutkan pendidikan doktornya. Yaitu, dia harus menikah. Lebih buruknya lagi, t...