Gaura tidak pernah berpikir bahwa ternyata Praya mempunyai bakat masak sehebat ini. Bahkan jika dibanding dengan masakannya sendiri, masakan Praya masih lebih enak. Malam ini untuk pertama kalinya Praya yang memasak untuk makan malam mereka, coto makassar. Sore tadi mereka keluar untuk membeli stok makanan dan bahan untuk membuat makanan khas Sulawesi Selatan itu.
Gaura belum pernah mencoba makanan itu. Ini pertama kalinya dia mencobanya dan dia langsung suka, rasanya enak dengan bumbu yang kuat. Katanya, Praya pernah ditempatkan di Makassar sekitar dua tahun, itulah alasan kenapa dia bisa kepikiran membuat makanan berkuah berisi daging itu. Gaura kagum, walau pernah tinggal di sana, belum tentu orang lain bisa memasaknya seenak ini. Menurut Gaura, masakan ini bukanlah masakan sederhana, dia sendiri sudah jelas tidak bisa membuatnya.
"Mas jago banget, enak loh ini. Rasa aslinya begini?" Tanya Gaura kembali menyendokkan daging beserta kuah ke dalam mulutnya.
Sesuai rekomendasi Praya, mangkuk coto Gaura sudah dia perasi jeruk jenis, tambahan kecap dan cabai. Kata Praya, seharusnya coto makassar ini dimakan dengan ketupat, tapi karena mereka tidak bisa membuat ketupat karena ribet dan memakan waktu, jadilah pilihan terbaiknya adalah nasi putih.
"Iya. Kalau di Makassar penjual coto banyak banget, tiap persimpangan ada kayaknya. Aku sering minta Ibu buatin, terus sekali pernah ikut bantu, coba bikin sendiri ternyata berhasil." Praya menuangkan kuah ke dalam mangkuknya.
Dibanding nasi goreng dan jenis makanan goreng lainnya, Praya lebih menyukai makanan berkuah. Atau paling tidak ada sayur yang bisa menjadi kuah nasinya. Walaupun cukup aneh, tapi Praya suka membanjiri nasinya dengan kuah.
"Terus bedanya sama apa tuh Mas yang mirip coto gini juga," kata Gaura berusaha mengingat.
"Palubasa?" Gaura langsung mengangguk. "Hampir mirip sih sebenarnya tapi kalau palubasa ada kelapa sangrai sama telur mentahnya,"
"Enakan mana, Mas?"
"Beda-beda sih, tapi kalau aku lebih suka coto,"
"Mau dong Mas coba palubasa, Mas buatin yah," katanya dengan senyum lebar di bibirnya, menggoda Praya.
Praya tertawa, "Iya nanti belajar dulu."
Mereka menyelesaikan makan malamnya. Kali ini Gaura yang memaksa untuk mencuci piring walau Praya sudah mengajukan diri. Menurut Gaura, karena Praya sudah memasak berarti sudah seharusnya dia yang mencuci piring. Praya sering mengingatkan untuk tidak meninggalkan cucian piring untuk waktu yang lama, dia sudah terbiasa hidup bersih di rumah orang tua maupun saat dulu dia tinggal sendiri. Jadi sebisa mungkin dia juga menerapkan itu dikehidupan rumah tangganya ini.
Selepas makan malam biasanya mereka menghabiskan waktu di depan TV, duduk menyandarkan punggung ke sofa besar di sana. Gaura meletakkan piring berisi melon yang sudah dipotong-potong ke atas meja sebagai cemilan. Seperti biasa, Praya sudah tenggelam dengan dunia beritanya, sedangkan Gaura hanya memainkan ponselnya walau dia sama sekali tidak tertarik.
"Mas menurut kamu, sejauh mana kamu boleh menggunakan privilege yang kamu punya?" Tanya Gaura tiba-tiba, setelah keduanya sibuk dengan perhatian masing-masing.
Praya menolehkan kepalanya, mengalihkan fokus dari layar TV di depannya. "Harusnya pertanyaan ini tuh buat kamu, loh. Kamu yang punya privilege yang sebenarnya bisa banget buat kamu gunakan,"
"Aku pake kok!"
"Buat apa?"
"Buat sekolah, selagi Ayah mampu yah aku sekolah terus,"
KAMU SEDANG MEMBACA
TOLERATE IT
RomansaGaura terlalu terpaku dengan hidup nyamannya hingga tidak pernah terpikir untuk menikah. Tapi tanpa dia ketahui, ternyata Ayahnya memberikan syarat padanya jika ingin melanjutkan pendidikan doktornya. Yaitu, dia harus menikah. Lebih buruknya lagi, t...