I Love You For You

207 18 15
                                    

Song For This Chapter: Say Something - A Great Big World ft Christina Aguilera

___________________________

Kesadaran kembali mengingatkanku akan jarak kami yang berdiri terlalu jauh. Keheningan malam mengajarkanku bahwa aku harus mencintainya dalam diam, dari jauh. Kenyataan memusuhiku, memberikanku ketakutan yang menyusup hingga bagian terkecil dalam diriku.

Aku terlihat seperti seuntai benang putih yang kecil dan tak terlihat walau suci. Aku begitu menginginkan jarum yang akan merubahku menjadi kain bersih yang cantik. Tapi aku tersimpan di dalam laci, tak di temukan.

Lalu aku kembali lagi pada diriku sendiri, aku bercermin melihat seorang gadis di depanku adalah bukan siapa siapa. Akulah benang kecil itu, aku mencintainya setulus hatiku, aku begitu menginginkannya agar ia membuatku lebih utuh, tapi ia tak pernah menemukanku.

Aku menulis untaian kata, aku menuliskan sesuatu yang lebih tepat untuknya, tapi ia terlalu indah...tak ada kata kata yang akan mewakilinya.

Jika Tuhan menghendakiku untuk mencintainya dalam diam, cukuplah untukku. Tapi perasaan untuk memilikinya adalah paling besar, kadang melemparku sewaktu waktu.

Tidak pernah ada kata tidak, jika ia masih untukku, aku akan berusaha membuatnya kembali padaku. Entah bagaimana caranya, aku tau Tuhan mengizinkanku.

Jika kau menilai cinta kami adalah yang terlalu egois...

Ya, tapi bukankah begitu cara cinta bekerja?

***
Aku memeluk lututku dengan kedua tangan, meletakkan kepalaku yang menunduk di atasnya. Sejujurnya aku teringat kata kata dokter Fawn kemarin. Aku akan membicarakan soal opsi mana yang akan aku ambil kepada Liam dan kedua orang tuaku di Wolverhampton. Jujur saja, aku akan menolak mentah mentah untuk melakukan kemotrapi, aku tak ingin rambutku hilang. Aku juga tak ingin melakukan operasi, bukankah dokter Fawn bilang jika aku melakukannya kemungkinan besar aku akan cacat fisik? Aku tak siap untuk itu.

Selama aku tinggal di London beberapa bulan, baru 4 kali aku mengikuti misa pagi di gereja di hari minggu. Itupun tidak rutin ku lakukan satu bulan. Minggu kemarin, tepatnya, terakhir kali aku mengikuti misa hingga orang orang pergi aku masih tetap berada di sana.

Aku menatap patung Tuhan dan Bunda-Nya, beberapa pertanyaan kulontarkan padanya. Aku hanya ingin tau jawaban sebenarnya, aku ingin tau dari Tuhan.

Aku bertanya pada-Nya, dari sekian banyak manusia di dunia, kenapa Ia memilihku untuk merasakan penderitaan yang rasanya tidak ada ujungnya ini? Aku bertanya, adakah jalan lain yang bisa kuambil selain merasakan sakitku ini?

Aku bertanya padanya, akankah aku mati secepat ini? Dengan cara apa aku mati? Apakah karena penyakit ini? Atau karena hal lain? Aku bertanya pada-Nya, jika aku mati, apakah kedua orang tuaku beserta Liam akan menangisiku? Atau mereka akan lega karena aku tak ada, tak ada yang akan menyulitkan mereka, tak ada lagi yang mesti di jaga.

Aku bertanya, apakah teman temanku akan datang? Apakah the boys akan datang? Dan...apakah Harry akan ada di sana, menyaksikan jasadku di dalam peti yang di turunkan ke dalam bumi? Ataukah ia lebih memilih menghabiskan harinya bersama Kendall?

Aku meneteskan air mata, begitu menginginkan Tuhan menjawab segalanya. Rasanya tak adil bagiku untuk terus mengeluh tentang kehidupan yang kumiliki. Tuhan memberikan setiap kasih sayangnya padaku, ia memberkatiku karena mengizinkan berada di tengah tengah orang yang menyayangiku. Tapi aku tau, manusia selalu merasa kurang dan tak cukup. Aku selalu meminta lebih.

Tuhan memang tak bersuara dengan nyata dan menggema. Tapi ia menyampaikannya ke hatiku, ia mengatakan bahwa semuanya akan terjawab, nanti...saat waktunya tiba. Aku hanya perlu bersabar dan menunggu.

Diana ( H.S )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang