Hidden

177 11 0
                                    

Author POV
Hari hari gadis dengan iris coklat itu terus berjalan. Melompat, seperti kelinci, terbang seperti merpati, merangkak seperti kucing, atau mungkin mengalir seperti air? Tidak tau, tapi harinya masih saja terasa sulit di jalani. Tapi memang sudah di gariskan oleh Tuhan tentang takdirnya, bukan?

London masih di selimuti awan gelap, pagi yang begitu mendung dan air yang turun kecil kecil dari langit. Tadi malam sampai sekarang, masih sama.

Ia berbaring sambil menghadap jendela di sebelahnya, di luar sana banyak orang dengan aktifitas masing masing yang berjalan terburu buru, takut baju mereka kebasahan karena air hujan mungkin? Entah.

Ia menjalankan tangan mungilnya--dan jari jari lentiknya ke kepala. Menyisir rambutnya dengan tangannya perlahan. Ia merasa ada sedikit yang berbeda. Melirik tangannya yang pucat, ia melihat beberapa helai rambutnya yang menyangkut di sana. Terlepas dari kulit kepalanya.

Diana tersenyum pahit. Inilah resiko itu. Cepat atau lambat rambutnya akan habis karena siksaan penyakitnya. Bahkan ketika penyakit itu sedang berusaha di obati, resikonya masih sebesar ini.

Ia menggenggam kuat hingga tangannya terlihat semakin pucat. Tidak, ia tidak marah. Justru ia ketakutan. Ia takut akan datangnya hari itu. Hari saat ia benar benar tersiksa karena ia tidak lagi memiliki rambut seperti gadis gadis normal. Atau mungkin...ia takut Harry yang akan meninggalkannya ketika melihat kekasihnya berubah menjadi makhluk aneh tanpa rambut.

"Good morning, Ms Payne." Suster yang dulu ketika pertama kali di lihatnya ia fikir suster itu lebih pantas menjadi seorang model kini memasuki ruangannya dengan membawa tray makanannya sekaligus obat yang harus ia minum setiap pagi. Suster itu bernama Felicia.

"Selamat pagi, suster Felicia." Ia balik menyapa dengan senyum khasnya.

"Bagaimana keadaanmu pagi ini, Ms Payne? Apa masih terasa mual karena kemotrapi kemarin?"

Diana menerima semangkuk bubur dari suster Felicia. "Aku membaik, kurasa. Mualnya sudah tidak terasa tapi tubuhku masih suka menggigil."

"Apa aku perlu menyalakan penghangat ruangan?"

"Tidak, terimakasih. Selimut ini cukup membantu." Katanya. Ia melirik selimut bergambar beruang kutub berwarna putih yang di berikan Louis kemarin.

"Oke." Suster Felicia melipat beberapa blanket yang berantakan di atas sofa bekas the boys menginap semalam.

Sudah sejak dua minggu yang lalu tepatnya ia sudah melangsungkan kemotrapi. Memang kemo yang di jalaninya tidak setiap hari, kemo itu di jalankan 1 minggu sekali. Tergantung hasil tes dokter apakah sel kanker di kepalanya makin membaik atau justru membesar.

Dan selama itu pula the boys sering berkunjung dan menginap di rumah sakit menemaninya. Karen dan Geoff sudah sekitr tiga hari yang lalu kembali ke Wolverhampton karena dokter bilang kondisi Diana cukup stabil, hanya saja ia masih harus di rawat di rumah sakit agar kesehatannya bisa maksimal. Dan dokter bisa memastikan Diana meminum obatnya secara terkontrol.

"Ms Payne--"

"Kau bisa memanggilku Diana saja. Itu kedengarannya lebih menyenangkan." Suster Felicia tersenyum, Diana memang pasien yang cukup keras kepala dan terkadang susah di atur. Gadis muda itu juga suka sekali bertanya dan suster Felicia harus sabar saat menjawab semua pertanyaan Diana hingga ke bagian terkecilpum seperti menanyakan suntikkan itu di buat di mana dan sebagainya. Suster Felicia seperti berbicara dengan gadis kecil. Padahal kenyataannya Diana berumur delapan belas. Tapi suster Felicia suka dengan sifatnya yang ceria dan manis.

"Oke." Katanya. "Aku harus menemui dokter Fawn untuk memberikan data pasiennya hari ini. Kau bisa ku tinggal sendiri, bukan?"

Diana mengangguk yakin. "Selamat bekerja, suster Felicia. Terimakasih untuk sarapannya."

Diana ( H.S )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang