Mungkin selama ini aku saja yang terlalu berharap padanya. Aku saja yang mengira bahwa dia membutuhkanku, dia mencintaiku seperti aku mencintainya, padahal sepertinya tidak.
Aku yakin, dari awal dia menerimaku untuk masuk kedalam kehidupannya, dia tidak benar benar menginginkan itu. Entah, apa ada seseorang lain yang sudah terlebih dulu mengisi hatinya, atau memang dia tidak pernah menginginkan apapun, siapapun untuk mengisi hatinya lebih dari sekedar hubungan baik persaudaraan. Seperti contohnya Liam, Ayah dan Ibunya, Shiella, dan kami, The Boys.
Aku tidak pernah berkomentar apapun tentang hubungan kami yang terkesan hambar dan aku sebagai satu satunya orang yang memperjuangkan hubungan ini. Walaupun iya, dia tidak pernah mengeluhkan hal yang aneh aneh soal kami dan selalu berusaha menyambutku dengan baik, tapi tetap saja, rasanya ada yang kurang pas.
Aku melakukan hal hal kecil yang manis untuknya-yang kukira disukai dan di idam-idamkan para gadis di manapun di dunia. Aku memperhatikan apapun tentang dia, aku selalu meluangkan waktuku yang tidak banyak ini untuk membawanya ke berbagai tempat tempat manis dan romantis. Aku berusaha membuatnya percaya bahwa aku serius dalam hal ini-hubungan kami. Tapi hanya aku yang memperjuangkan semua ini, dan kukira dia tidak.
Aku berusaha membuat gelombang yang indah dan teratur dalam hubungan kami, tapi tetap saja rasanya hambar, masih kurang pas, entah dari sudut mana.
"Aku tau kamu tipe orang yang irit bicara selama ini, tapi sepertinya hari ini kamu lebih pendiam dari biasanya," dia berucap lembut dari samping kananku, aku bisa melihat helaian rambutnya yang berkibar pelan disapu angin dari ekor mataku. "Apa kamu lagi sariawan?" Candanya.
Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis tanpa benar benar menoleh kearahnya.
Masih asyik memandangi hamparan bunga bunga berwarna warni yang tumbuh atas di tanah di bawah kami.
Kami duduk di atas bukit yang menghadap pada hamparan bunga di bawah pohon besar yang rindang. Langit biru yang cerah memandangi kami dari atas, mungkin awan awan putih yang terlihat seperti gumpalan gumpalan kapas itu mengejekku dari sana.
"Tuhkan, sepertinya benar kamu lagi sariawan," katanya merajuk.
Aku merebahkan tubuhku keatas rumput hijau yang lembab. Menghela nafas. "Aku hanya sedang memikirkan sesuatu,"
"Ohyaa? Apa itu?"
"Aku tidak bisa memberitahumu,"
Dia ikut berbaring di sebelahku lalu sedetik kemudian merubah posisinya menjadi tengkurap. Aku bisa melihat betapa indahnya ciptaan Tuhan yang satu ini dari sudut pandangku dalam posisi ini.
"Kenapa begitu?"
Aku mengulurkan tanganku untuk meraih wajahnya dan mengusap pipinya dengan ibu jariku.
Lalu hening. Dan aku benci itu.
"Diana," panggilku.
Dia tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya keatas.
"Apa kamu bahagia dengan ini semua?" Aku berdeham sebelum melanjutkan. "Denganku?"
"Tentu. Aku bahagia sekali." Jawabnya sambil menolehkan pandangannya dari menatapku menjadi menatap rumput yang berjarak hanya beberapa inci dari dagu lancipnya.
"Sungguh? Aku tidak merasa seperti itu,"
"Sudahlah, Zayn. Jangan suka berfikir yang tidak tidak."
"Tapi memang benar begitu kan? Aku tidak pernah merasa kamu benar benar bahagia dengan ini."
Dia diam tidak menjawab.
"Untuk waktu yang kita habiskan selama hampir satu tahun ini, aku tidak bisa merasakan apapun, perasaanmu padaku." Aku bergumam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diana ( H.S )
Fanfiction"One day, i'll be strong enough to let you go."-Harry Styles