Realized

228 21 11
                                    

Dedicated to MrsPaynoStyles thx, keep vomments 

Author POV

Zayn berusaha memejamkan matanya di sela Perrie yang terus mengoceh di sebelahnya. Mereka kini berada di dalam kamar Zayn. Perrie marah karena Zayn yang telat menjemputnya di studio padahal Zayn sendiri yang berjanji.

"...Kalau kau tak bisa, harusnya tak usah berjanji menjemputku." Oceh Perrie lagi.

'Kenapa sih jika aku telat sedikit saja langsung marah? Aku juga manusia biasa. Apa semua gadis seperti itu?' Batin Zayn kesal.

"...Dan, kau juga benar benar menyebalkan Zayn, jadi kau pergi bersama Diana tadi?! Ya Tuhan." Perrie merengut kesal.

"Pezz, please. Aku lelah, okay? Yang penting sekarang kau sudah disini. Jadi apa lagi yang harus di masalahkan?!" Ucap Zayn sebal.

"Mudah sekali kau bicara?! Kalau ini di biarkan kau akan terus seperti ini. Ingkar janji."

"Aku tak ingkar janji, okay?! Aku hanya 'telat' tolong bedakan." Zayn memalingkan wajahnya dari Perrie yang merengut kesal.

Sebenarnya Zayn tidak pernah menyukai gadis yang sedang mengomel disebelahnya ini. Gadis itu terlalu bersikap posesif, seenaknya, tukang perintah, dan manja. Tapi karena management membuat sebuah kontrak yang di bencinya itu, hubungannya dan Perrie harus tetap terlihat baik di publik.

Ya, semua itu management yang mengatur. Zayn? Apa boleh buat. Tapi Perrie sepertinya memanfaatkan semua itu karena di sisi lain dia juga sangat menyukai Zayn.

"...aku mau pulang. Antarkan aku." Suruh Perrie membuat Zayn mendengus.

'Dia sudah selesai mengocehnya?! Sekarang apa? Memerintahku lagi? Ya Tuhan.' Batin Zayn.

"Zayn! Sekarang!" Pekik Perrie.

Zayn mendengus sebal.

***

Harry menyusupkan tubuhnya ke dalam bed cover tebalnya. Tubuhnya bergoyang kesana kemari merasa tak nyaman. Ia berkali kali melihat jam di ponselnya. Masih pukul 7 malam, dan ia sudah mencoba tidur.

Perasaan tak nyaman yang ia rasakan mulai membuatnya kesal. Ia merasa gelisah malam ini. Entah sudah berapa kali ia mengumpat dalam hatinya karena otaknya yang erus memikirkan Diana.

Rasanya semuanya sungguh salah. Harry merasa dirinya sudah jatuh ke dalam permainannya sendiri. Ia sungguh tak pernah menyangka jika ia akan jatuh cinta pada Diana. Tunggu, apa? Jatuh cinta? Bahkan ia sendiri tak yakin dengan kata itu.

Lalu apa? Ia harus berkelit apa lagi pada perasaannya sendiri? Haruskah ia bohong lagi? Lari dari kenyataan lagi? Betapa pecundangnya ia.

Langkah apa yang harus di ambilnya? Membiarkan perasaan tak bersalah itu terus tumbuh dan melupakan semua janji janjinya dengan Kendall? Kalau di fikir itu lebih pecundang.

Lalu? Membuang jauh jauh perasaan yang masih tunas itu? Apa ia bisa? Diana tak melakukan apapun saja sudah membuatnya gila, apa lagi Diana terus ada di sampingnya?!

***

Diana diam termenung di dalam kamarnya. Satu tangannya memegang rajutannya yang belum selesai, tangan lainnya memelintir melintir ujung kausnya.

Dia hanya tak ingin melakukan apapun saat ini. Di fikirannya terus berputar putar kejadian apa saja yang terjadi saat dia tinggal di London selama 2 bulan penuh.

Saat dia membuat Harry dan Kendall terus bertengkar karenanya? Atau saat dia membuat Liam terus khawatir karena penyakitnya yang sering kambuh? Atau menyiksa dirinya, hatinya sendiri yang memendam rasa pada Harry?

Yang mana? Masalah baru akan sering timbul jika dirinya masih berada disini.

Apa yang akan di lakukan Diana? Kembali ke rumah aslinya di Wolverhampton?

Atau bertahan dan terus membuat orang orang di sekitarnya terus tersiksa karena dia yang menyusahkan?

Dia belum tau jawabannya.

***
Tok...tok...tok

Suara ketukan pintu di kamar Diana menyadarkannya dari lamunan panjangnya. Dia bangkit berdiri dan meletakkan rajutan yang dari tadi belum di selesaikannya itu di atas bantal.

"Liam." Gumam Diana saat matanya menangkap Liam berdiri di depan pintu kamarnya dengan wajah bingung.

"Kenapa kau memanggilku? Tumben sekali." Liam berjalan mendahului Diana dan duduk di atas tempat tidurnya.

Diana menghela nafas sebelum menyusul Liam duduk di bed. "Aku ingin bicara sesuatu." Diana memulai.

"Apa itu?"

"Kau ingat, saat kau memperingatkanku untuk tidak jatuh cinta pada sahabat sahabatmu ini?" Diana menunduk. "Sepertinya aku gagal menurutinya, Li." Lirih Diana hampir tak terdengar.

Liam mengerutkan dahi. "Maksdumu?" Liam tau maksud Diana, tapi ia hanya ingin mendengar lebih jauh.

"Aku..." Diana memejamkan matanya. "Aku jatuh cinta pada salah satunya, Liam." Lanjutnya.

Perasaan Diana saat itu campur aduk. Meski dia selalu jujur dengan Liam apapun tentangnya, tapi saat dia mengatakan dia sedang jatuh cinta rasanya aneh sekali. Antara takut Liam akan marah, ingin menangis, dan gugup mengatakannya bercampur jadi satu.

"Aku bingung akan menjawab apa." Suara Liam berubah dingin.

"Aku tau kau akan marah." Gumam Diana.

"Aku bahkan tak tau harus marah atau tidak." Sahut Liam.

"Maka dari itu aku ingin mengatakan sesuatu." Ucap Diana lagi. Dia berusaha meyakinkan hatinya sendiri.

"Apa?" Tanya Liam. Nada suaranya menjadi datar.

"Aku akan kembali ke Wolverhampton, Liam." Jawab Diana tegas mengukuhkan hatinya yang seakan hilang.

***
Harry POV

"Aku akan kembali ke Wolverhampton, Liam." Suara Diana terdengar jelas di dalam kamarnya.

Aku baru saja mengambil air putih dari bawah dan mndengar diana bicara seperti itu.

Diana akan pulang? Tapi kenapa?

"Secepatnya. Mungkin malam ini atau besok." Perasaanku seakan makin sesak mendengarnya.

Ada apa ini? Apa masalah yang membuat Diana ingin kembali ke Wolverhampton?

Aku tau tak baik mendengarkan percakapan orang lain seperti ini. Tapi aku merasakan kaki dan otakku tidak berada dalam satu kubu. Otakku memerintah agar aku cepat pergi dari sini, tapi kakiku seakan di palu sampai tak bisa bergerak sedikitpun.

Tak ada suara yang terdengar lagi dari dalam kamar Diana, mungkin dia bicara di telefon? Atau...

"Harry? Sedang apa kau di situ?" Diana tersenyum kecil memergokiku yang sedang berdiri di antara pintu kamarnya dan kamarku.

Otakku langsung berputar mencari alasan yang tepat. "Uh..." Aku menggaruk belakang kepalaku. "Itu, aku mencari cincin Kendall, tadi jatuh." Ucapku.

Wajah Diana seketika berubah, senyumnya hilang. Selang berapa detik kami saling diam menatap akhirnya senyum Diana kembali muncul lebih manis. "Mau ku bantu mencari?" Tawarnya. Tangan kanannya menyelipkan rambutnya yang terjatuh ke belakang telinga.

"Tidak perlu, biar saja hilang." Ucapku tanpa sadar. "Aku masuk dulu." Kataku berbalik dan masuk kedalam kamar.

Her smile...

I cant handle this, God...

***
apa yang kalian ga suka dari cerita aku?

Lily

Diana ( H.S )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang