Diana POV
Aku bangun lebih awal dari biasanya karena hari ini aku yang harus membuka toko. Setelah selesai mandi dan menyiapkan keperluanku untuk berangkat kerja, aku menyempatkan untuk membuat sarapan untukku dan dia. Dia masih tertidur di sofa ruang tamu. Bahkan tadi sempat terjadi perang antara perasaan dan logikaku. Aku tidak bisa beranjak dari tempatku berdiri saat memperhatikan wajah polosnya saat tidur, tapi kemudian logikaku lah yang menang.
Aku selesai menggoreng sosis, kentang, dan telur mata sapi dan hanya perlu menuang susu dari dalam kulkas saat ini. Ada suara langkah kaki yang mendekat kearahku namun aku sangat enggan untuk membalikan badan dan menyapa dia. Jadi aku terus berusaha mencari kesibukan agar mengalihkan perhatian darinya. "Good morning." Sapanya dengan suara serak.
"Good-morning." Kataku, ya Tuhan, aku terdengar seperti tersedak sesuatu.
Aku menuang air panas ke cangkirku dan mengaduk teh dan gula yang sudah lebih dulu kumasukan. "Kamu punya aspirin? Kamu tau, kepalaku terasa seperti..."
"Um, ya. Tunggu sebentar, akan kuambilkan." Kataku cepat cepat pergi dari hadapannya dan beranjak menuju kamar mandi untuk mengambilkannya sebutir aspirin. Aku kembali ke dapur dan memberikannya aspirin tadi berikut dengan air putihnya.
Ia menenggaknya dengan singkat dan duduk di kursi meja makan kecil milikku. "Smells so good," ucapnya saat aku meletakan piring untuk masing masing dari kami berisi sarapan yang telah kubuat. Aku masih tak memandangnya sama sekali.
"Enjoy your breakfast."
"Kamu akan makan di sini bersamaku, kan?"
"Tentu, kenapa tidak? Ini apartmentku dan aku bebas untuk makan di manapun."
"Aku bahkan tidak berkata apapun soal itu. Kenapa kamu jadi begitu sensitif?" Tanyanya sambil menyuapkan potongan kentang kemulutnya.
Aku memutar mata dan makan dalam diam. Kecanggungan begitu mendominasi ruangan ini, aku mempercepat makanku agar bisa lebih cepat juga berangkat bekerja dan meninggalkan dia sendiri. Dia pasti akan pulang bukan setelah aku pergi? Mau tak mau ya harus, kecuali jika dia sudah tidak waras lagi untuk tetap tinggal di sini berjam jam dalam sehari. Dan jikalaupun dia akan tetap menunggu, aku tidak peduli apakah dia akan mengacak acak apartmentku ataupun membakarnya, yang penting ia tidak mengajakku bicara. Karna di situlah titik yang bisa membuatku goyah.
"Uhuk, uhuk!" Aku tersedak makananku karena makan terlalu cepat.
"Kamu sangat gusar, baby girl. Ini minumlah," ucapnya seraya menyodorkanku segelas susu yang isinya tinggal setengah miliknya.
Daripada tenggorokanku sakit ya lebih baik aku terima, kan? "Terimakasih," kataku masih sambil terbatuk dan menerima gelasnya. Aku meminumnya banyak banyak sampai merasakan kelegaan di tenggorokanku. Huh akhirnya.
Harry mengambil gelas kosong tadi dariku dan berjalan ke kulkas untuk mengisinya kembali. "Kamu akan berangkat...bekerja?" Tanyanya sambil memunggungiku.
"Um,, ya."
"Oh...oke, ya, baiklah."
"...iya..."
Harry kembali ke tempat duduknya sambil mencuri curi pandang ke arahku. "Quee-maksudku, Diana, boleh aku mengantarmu?"
Aku berhenti mengunyah makanan di dalam mulutku. Menimbang nimbang apakah sekiranya yang akan terjadi jika aku hanya berdua bersama dia di dalam mobil selama 20 menit perjalanan. Kurasa semuanya akan baik baik saja selama aku tidak terlalu banyak bicara dan bisa mengontrol diriku, aku akan berusaha mengalahkan egoku. Bagaimanapun niatan Harry baik. Dan aku harus bisa move on darinya. Mungkin cara berteman seperti ini dengannya akan menghilangkan bebanku. "Baiklah." Ucapku pada akhirnya sambil lalu membawa piring kotor dan cangkirku ke dishwasher.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diana ( H.S )
Fanfiction"One day, i'll be strong enough to let you go."-Harry Styles