05

17.4K 1.1K 95
                                    

Chapter - 05

Chapter - 05

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kereta malam dari Bandung menuju Surabaya hari itu ramai tapi tidak sepenuhnya padat, masih terasa lenggang. Ayyara menggigit bibirnya membaca kembali tiket yang ada di tangan sembari dalam hati berharap ia tidak salah menaiki kereta. Dengan menyeret koper mininya yang ia bawa untuk pulang ke rumah, Ayyara mencari tempat duduk yang tertera di tiket. Hari ini, malam ini Ayyara melakukan pemberontakan besar. Papi-maminya pasti akan mengomelinya habis-habisan saat dirinya sampai di Surabaya. Gadis itu kembali menggigit bibir sekedar membayangkan betapa mengerikan kemarahan sang mami.

Liburan akhir semester. Kurang dua semester lagi dia akan lulus setelah beberapa tahun merantau. Kalau diingat-ingat, sebenarnya malam ini bukan pemberontakan terbesarnya. Memutuskan berkuliah di Bandung adalah pemberontakan terbesarnya. Hari ini ia hanya mengabaikan perintah orang tuanya untuk pulang dengan akomodasi yang sudah disiapkan oleh Maminya. Perempuan itu sudah memesankan tiket pesawat yang jadwal keberangkatannya esok hari. Ada juga supir yang akan menjemputnya besok untuk mengantarnya menuju bandara. Tapi malam ini, Ayyara sudah menaiki taksi untuk membawanya menuju stasiun. Tiket kereta yang ada digenggamannya sudah ia pesan jauh-jauh hari. Sederhana saja, Ayyara hanya ingin menaiki salah satu transportasi umum ini, di kelas yang bukan bisnis melainkan hanya kelas ekonomi. Ayyara ingin merasakan sensasinya. Selama ini ia selalu disodori hal-hal yang sifatnya eksklusif, tidak salah kan ia tergiur dengan cerita teman-temannya yang menjelaskan bagaimana perjalanan malam pulang ke kampong halaman menaiki kereta. Jika teman-temannya itu tergiur dengan Ayyara yang selalu menaiki kapal terbang kelas bisnis, makan gadis itu sebaliknya. Mau bagaimana lagi, ia hanya ingin mencoba hal baru. Hal baru yang jika ia sampaikan kepada orang tuanya pasti akan ditolak mentah-mentah.

Ayyara hampir berada di ujung gerbong kereta yang ia naiki ketika akhirnya menemukan tempat duduknya. Kursinya masih kosong, belum ada yang menempati, sementara kursi di depannya ada sosok laki-laki yang Ayyara taksir usianya tidak jauh berbeda darinya atau malah seumurannya sedang duduk bersebelahan dengan ransel yang ia yakin milik laki-laki itu. Sebuah pin di yang tersemat di ranselnya menunjukkan bahwa lelaki itu berasal dari Universitas yang sama dengannya. Senyum lega terbit di bibir Ayyara.

Gadis itu meminggirkan kopernya untuk merapat dengan kursi sebelum akhirnya mendudukkan tubuh. Sekarang Ayyara berhadap dengan laki-laki tak dikenal itu. Tatapan mereka bersinggungan sekilas, membuat Ayyara memberikan senyum tipis yang dibalas juga dengan anggukan dari sang lelaki.

Kereta berjalan. Kursi sebelah Ayyara dan laki-laki itu masih kosong. Sekitar 30 menit perjalanan. Ayyara mulai merasa bosan. Ia melirik ragu pada lelaki di depannya yang memejamkan mata sambil mendengarkan –yang Ayyara yakin lagu dari earphone.

"Hai. Kita satu univ. Kamu dari jurusan apa?"

Laki-laki itu memandang Ayyara sebentar, tangannya meraih earphone yang tergantung di telinga kemudian menyimpannya di balik saku jaket. "Arsitektur. Kamu?"

CafunéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang