32

11.4K 716 7
                                    

Chapter - 32

Arka menatap kosong lembaran kertas sketsa yang ada di atas mejanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arka menatap kosong lembaran kertas sketsa yang ada di atas mejanya. Percakapannya dengan Ayyara masih terngiang jelas di kepalanya. Baru beberapa waktu lalu rasanya hidup Arka diliputi langit cerah, tapi kemarin gelap mendung datang kembali. Cerita yang keluar dari mulut Ayyara membuatnya untuk kesekian kalinya tenggelam dalam kubangan penyesalan. Menyesal karena dulu bersikap pecundang dengan melepas Ayyara begitu saja. Kata seandainya hanya menjadi sebuah kata. Seandainya dulu ia lebih keras lagi untuk membuat Ayyara mau mendengarkan penjelasannya, seandainya ia tidak menyerah begitu saja saat Ayyara benar-benar menggugat cerainya.

Ah. Dirinya terlalu banyak berandai-andai.

Ada banyak pesenyalan yang menyesakkan dada yang harus Arka ratapi sepanjang waktu. Dari ia yang tidak mengiringi masa pertumbuhan Shaylee dari gadis itu bayi hingga apa yang menimpa Ayyara selama berpisah darinya.

Meskipun semua itu telah berlalu tapi tetap membawa denyut nyeri di dada Arka. Mengingatkan betapa buruknya ia yang membuat Ayyara berada di situasi menyedihkan seperti itu.

"Beberapa sanak saudara yang berkunjung ke rumah bertanya-tanya soal kehamilanku. Kenapa hanya ada aku sendirian di rumah orangtuaku tanpa suami. Saat Caca lahir pun begitu. Mereka yang datang untuk menjengukku lagi-lagi mereka membicarakan soal perceraianku. Mami, papi, dan Hestama mungkin sudah mengusahakan sebaik mungkin agar omongan-omongan yang berkonotasi negatif itu tidak sampai ke telingaku. Tapi tetap saja, telingaku masih bisa mendengarnya. Aku mungkin bisa bersembunyi dari dunia luar, tapi tidak bisa bersembunyi dari sanak saudaraku kan? Mereka selalu punya alasan untuk datang ke rumah karena mereka adalah saudara."

Mata Arka sudah memerah dan berembun. Tangannya tanpa disadari sudah meremas jemari Ayyara yang ada digenggamannya. Mendengarkan dengan baik setiap kalimat yang diucapkan oleh Ayyara.

"Puncaknya saat Caca lahir. Mengurus newborn memang tidak mudah. Ditambah omongan tidak enak dari bibi-bibiku yang suka bergosip itu. Apalagi mereka suka sekali mengungkit-ungkit soal sulitnya membesarkan anak sebagai ibu tunggal. Seharusnya aku tidak menceraikanmu, aku seharusnya bisa membicarakan masalah rumah tangga baik-baik bersama suami –begitulah kata para bibiku. Kalau dipikir-pikir sekarang, seharusnya aku mendengarkan penjelasanmu dulu waktu itu sebelum memutuskan bercerai. Mungkin kepiluan yang kurasakan waktu itu memang bayaran atas pilihan yang kubuat"

"Aku jadi tertekan. Akhirnya ya, emosiku menjadi tidak stabil. Waktu itu bahkan Caca masih belum genap berumur 2 bulan. Aku menjadi sering kehilangan kendali. Sering menangis saat menggendong Caca. Saat Caca menangis pun aku ikut menangis di sebelahnya. Aku bahkan tidak bisa dengan benar menggantikan diapers Caca. Hestama membawaku ke Mbak Joana –salah satu psikolog di rumah sakit. Mbak Jo bilang kalau aku mengalami babyblues"

Ada selingan tawa di tengah-tengah ungkapan Ayyara. Arka tahu betul jika itu tawa getir. Ayyara mungkin tampak mudah menceritakan masa-masa itu, tapi jelas tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang kembali terbayang. Sama seperti Arka, mata perempuan itu mulai berembun.

CafunéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang