Langit pagi itu tidak terang, juga tidak gelap. Mereka kelabu, tak tentu berpihak pada yang mana. Namun tidak masalah bagi Malika. Selama langit belum menangis hingga rintik-rintik air matanya turun ke bumi, Malika tak mempermasalahkan itu.
Tangannya yang dingin digenggam erat oleh sang kakak. Seolah menjadi penghangat agar tangan Malika tidak semakin mendingin.
Mereka sedang berhadapan langsung dengan tempat peristirahatan terakhir Annaya. Keduanya berdiri memperhatikan gundukan tanah yang di atasnya terdapat batu nisan dan rumput hijau yang menyelimuti. Ini tidak jauh berbeda seperti terakhir kali mereka berkunjung.
"Ayo kita kirim doa untuk Mama," kata Aldian.
Sang kakak menuntun untuk mereka duduk di samping makam itu. Aldian mengelus batu nisan bertuliskan nama sang ibu dengan sayang dan tatapan sendu.
"Kami berkunjung lagi, Ma."
Malika melakukan hal yang sama. Mengabsen setiap ukiran di atas batu nisan itu, seperti takut jika salah satu dari huruf itu menghilang. Hingga terasa sentuhan di pundak, Malika menoleh.
"Ayo doa dulu buat Mama."
Mereka duduk tegap sambil berdoa dengan sungguh-sungguh. Kedua mata adik kakak itu terpejam dengan bibir yang terus bergerak melantunkan doa. Setelah dirasa cukup, mereka menyudahinya.
Aldian melihat Malika yang memandangi makam itu. Terlihat sangat memilukan, Aldian merasa hatinya seperti diiris-iris. Tatapan sendu yang Malika tunjukkan begitu mendalam. Aldian tak punya pilihan selain membiarkan sang adik melepaskan rindu pada Annaya.
"Udah 10 tahun kita hidup tanpa Mama." Kalimat pertama yang Malika ucapkan itu menyadarkan Aldian.
"Nggak aku sangka, kita bisa bertahan sejauh ini, Kak. Kita hebat ya?" tanya Malika.
"Kamu lebih hebat. Kamu bisa melewati ini semua di usia kamu yang masih anak-anak hingga dewasa. Bisa bertahan di samping Kakak, bahkan ketika Kakak sendiri kehilangan kepercayaan diri kalau Kakak bisa bertahan."
Aldian mengelus rambut panjang Malika dengan sayang.
"Mama yang minta kita bertahan, Kak. Mama mau kita tetap hidup." Suara serak nan kecil itu menghentikan pergerakan tangan Aldian. Itu terlalu menyedihkan. Suara itu seperti menusuk telinga Aldian hingga tembus ke jantung.
Pria dewasa itu menarik Malika ke pelukan. Mencoba menghalang segala rasa sakit dengan dekapan mereka. Meskipun mereka tahu, itu tidak akan berhasil, tapi setidaknya ini bisa mengurangi dosis rasa sakit tersebut.
"Kakak patut bersyukur punya kamu. Makasih Malika, Kakak sayang kamu."
Baru saja Malika meloloskan satu tetes air mata, mendadak dering ponsel milik Aldian terdengar. Pria itu segera mengangkatnya dan sedikit menjauh.
Tinggallah Malika sendiri. Gadis itu kembali mengalihkan pandangan kepada makam sang ibu. Entah mengapa perasaan ingin menangis itu lenyap. Dihadapan Annaya, Malika tidak ingin terlihat sedih. Dia tahu nanti Annaya akan ikut sedih jika melihatnya menangis sambil menatapi makam sang ibu. Malika ingin Annaya tersenyum bahagia dan bangga karena Malika telah menjalankan permintaan terakhir wanita itu. Malika tetap bertahan, tetap hidup, dan tetap menjalani kehidupan meskipun terasa berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Really Badboy
Novela JuvenilMenjadi pacar dari cowok dengan tempramen buruk tentu akan menjadi malapetaka. Apalagi jika mereka suka melakukan kekerasan fisik maupun verbal. Sayang, Malika harus menelan telak jika dirinya telah terjerat lingkar hubungan beracun bersama Gama, sa...