Mata berwarna cokelat terang itu menatap sayu pada gundukan tanah terawat di depan. Gundukan tanah yang indah dengan rumput hijau yang subur di atasnya. Juga, batu nisan berkilau yang bertuliskan nama Annaya Gantari.
Mallika duduk di samping makam sang ibu. Memandang batu nisan itu dengan perasaan kacau yang tak bisa ia suarakan.
"Mama..."
Tangan dingin Malika menyentuh pinggiran batu nisan. Dalam kepala gadis itu, terbayang Annaya sedang duduk mengamatinya. Menatap sang anak dengan lekat dan penuh kasih sayang.
"Aku—"
Napas gadis itu memberat. Hatinya begitu sakit untuk mengeluarkan sepatah kata saja. Rasa berat yang bersarang di dada membuat Malika memilih untuk menunduk. Dia menyatukan kedua tangan, meremasnya pelan.
"Aku udah ngelakuin hal yang bener, kan?"
Malika mendongak. Mata gadis itu langsung berkaca-kaca. Dalam hening dia mencoba menahan sesak yang begitu membara. Hingga mata dan hidung mungil itu berubah menjadi merah.
"Aku udan bener kan, Ma?"
Air mata Malika jatuh. Gadis itu membekap mulutnya agar tidak menghasilkan suara isakan. Meskipun terasa begitu sesak, Malika tak ingin kesedihannya kali ini terdengar.
Sebab Malika merasa bersalah. Entah kepada siapa.
Malika merasa ragu dengan tindakan yang ia ambil. Gadis itu tak yakin. Malika benar-benar berada diambang kebingungan hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti sejenak. Dia perlu meyakinkan diri.
Mata gadis itu kembali menatap lurus pada batu nisan sang ibu. Malika bersuara dalam hati, bahwa ia butuh bantuan. Malika butuh keyakinan.
"Mama, aku sayang dia. Aku—"
Malika tak bisa melanjutkan ucapannya. Yang ada malah air mata gadis itu semakin deras berjatuhan. Rasanya begitu kalut.
"Aku nggak mau kayak gini," lirih Malika.
Gadis dengan pakaian sekolah yang masih melekat itu kembali membekap mulutnya. Menahan isak perih yang justru semakin membesar hingga terasa sulit untuk dihentikan.
"Tapi aku bisa apa? Melawan pun akan percuma kan, Ma?"
Malika menarik napas. Kembali menundukkan kepala lebih dalam.
"Kenapa ... kenapa harus seperti ini, Ma? Kenapa Tuhan jahat? Memang dosa apa yang udah aku lakuin, Mama?"
Dapat Malika rasakan, usapan pelan di kepalanya. Lantas gadis itu mendongak. Langsung diterjang ribuan air mata ketika melihat Annaya yang tersenyum tulus sambil menggeleng.
"Nggak boleh begitu, Malika. Jangan menyalahkan Tuhan."
"Tapi ini berlebihan, Ma. Aku nggak bisa. Aku nggak sanggup!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Really Badboy
Teen FictionMenjadi pacar dari cowok dengan tempramen buruk tentu akan menjadi malapetaka. Apalagi jika mereka suka melakukan kekerasan fisik maupun verbal. Sayang, Malika harus menelan telak jika dirinya telah terjerat lingkar hubungan beracun bersama Gama, sa...