Dua Puluh Enam

1.4K 101 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lavanya mencengkeram ponselnya dengan kuat saat melihat informasi yang diposting oleh akun gosip kampus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lavanya mencengkeram ponselnya dengan kuat saat melihat informasi yang diposting oleh akun gosip kampus. Gadis itu menatap nyalang ke segala arah seperti singa yang kelaparan.

"Siapa diantara kalian yang tau admin UHBAase?!" teriaknya dengan melengking. Bahkan beberapa teman sekelas gadis itu menatapnya tak suka.

Bukannya menjawab, mereka malah saling berbisik mengenai sikap Lavanya yang seperti lepas kendali. Merasa tak ada jawaban, gadis itu langsung meraih totebag-nya untuk keluar kelas. Padahal dosen sudah mengabari akan masuk dalam 10 menit.

"Stop gosipin dia, sialan!" umpatnya pada mahasiswi yang duduk di depan dan kebetulan dia melewatinya. Tanpa menunggu respon mereka, gadis itu sudah menghilang di balik pintu.

Lavanya berlari kencang menuju fakultas seni rupa. Ia tak lagi memedulikan napasnya yang sudah terengah-engah. Sekarang yang terpenting baginya adalah menemukan Nadila. Di perjalanan, gadis itu bertemu dengan Jay yang terlihat juga sama khawatirnya seperti dia.

"Lo mau ke mana?" Lavanya mencegat lengan Jay agar berhenti.

"Lo udah liat beritanya? Nadila-"

"Lo jangan ketemu dia dulu. Nanti mereka makin gosipin kalian. Sekarang, lo mending temui Kajur dia. Beresin masalah itu aja. Biar masalah ini jadi urusan gue."

Jay mengangguk mantap, harus diakui otak Lavanya berjalan lancar saat keadaan terdesak. Mereka pun berpisah di sana dan melanjutkan misi masing-masing.

Namun, takdir malah mempertemukan Jay dan Nadila di ruangan Mrs. Hana. Gadis itu bersembunyi di sana sekaligus membahas kelanjutan beasiswanya. Laki-laki itu sedikit terkejut, tetapi dia berusaha tenang agar Nadila pun tidak panik.

"Maafkan saya Nadila, tapi Pak Andito tetap bersikeras untuk mencabut beasiswa kamu. Mungkin kalau PKM kamu lolos dan didanai, kita bisa bicarakan lagi dengan beliau."

Nadila sudah pasrah. Gadis itu menunduk, memperhatikan tangannya yang saling melintir di atas pangkuan. Matanya sudah memanas, tetapi sekuat tenaga dia tahan karena malu di depan Mrs. Hana.

Interested [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang