Dua Puluh Tujuh

1.4K 105 11
                                    

Dengan terpaksa, ia menyeret langkahnya menapaki tangga demi anak tangga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan terpaksa, ia menyeret langkahnya menapaki tangga demi anak tangga. Matanya menatap sendu rumah yang beberapa hari tidak disinggahi ini. Begitu pintu besar berwarna emas itu terbuka, ada beberapa pelayan yang menyambutnya.

"Siang Non Anya," sapa wanita paruh baya yang memakai seragam berwarna biru tua. Yang di sapa hanya menundukkan kepala sedikit sebagai balasan.

Lavanya dengan perasaan campur aduk menaiki lift menuju lantai 3 rumahnya. Mau tak mau, dia harus bertemu dengan sang Papa untuk meminta bantuan. Mungkin, ini terakhir kalinya dia kemari setelah pertengkaran mereka beberapa waktu lalu karena kafe Learn.tera.

"Nona?"

Gadis itu berhenti tatkala ada pria yang menahannya. Lavanya menatap pria berstelan jas itu dengan tatapan tak suka.

"Aku cuma mau ketemu Papa, kak," ujarnya bernada kesal.

"Pak Prabu sedang tidak mau diganggu."

"Apa aku juga harus buat janji temu dulu?" sarkas gadis itu. Membuat pria berusia 30-an di depannya menjadi sungkan. Dia pun akhirnya membuka pintu berbahan kayu di belakangnya.

Di sana sudah ada pria yang Lavanya sebut Papa, sedang menyiram tanaman kesayangan yang seharga mobil. Dia tahu jika pria itu menyadari kedatangannya. Namun, enggan berbalik sampai Lavanya yang terlebih dahulu menyapa.

"Pa? Sehat?" tanyanya berbasa-basi.

"Kamu berharap Papa sakit?"

Salah lagi, rutuknya dalam hati. Papanya memang bukan orang yang bisa diajak berbasa-basi, persis dirinya dan dia benci itu.

Tanpa aba-aba, Lavanya langsung berlutut di samping kaki Prabu, bahkan membuat pria itu menatapnya bingung. Kali ini Lavanya tidak boleh kalah, dia harus mendapatkan bantuan papanya meskipun harus memohon seperti ini.

"Pa, tolongin Nadila. Beasiswanya mau dicabut. Papa bisa, kan, ngomong sama Pak Rektor?" katanya dengan nada yang lebih mirip memerintah.

"Buat apa Papa tolongin Nadila? Dia, kan, temen kamu. Bukan teman Papa."

Lavanya sudah menduga hal ini terjadi. Meskipun itu Papanya sendiri, tetapi tidak mudah baginya mendapatkan privilege selain fasilitas untuk pendidikan. Uang berlimpah? Kekuasaan? Jangan harap dia mendapatkannya hanya dengan modal merengek. Dia harus meyakinkan Pria itu dengan berbagai prestasi.

"Tapi Nadila yang bantu bangun kafe Learn.tera. Anya juga ikut PKM biar dapat dana. Kalo pun nggak lolos, Jay bakal bantuin buat nyari investor lain. Pokoknya mereka berjasa buat kafe kita. Jadi ... bisa, kan, Papa bantu ngomong sama Pak Rektor?"

"Kamu pikir Ridwan ngurusin hal begituan? Dia Rektor, bukan yang punya Universitas." Prabu melirik putri tunggalnya yang masih berlutut. Dari atas, terlihat gadis itu menundukkan kepalanya, seperti putus asa.

Interested [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang