Dua Puluh Tiga

1.2K 82 3
                                    

Deru mesin mobil menjadi satu-satunya suara diantara mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deru mesin mobil menjadi satu-satunya suara diantara mereka. Padahal dua anak manusia itu duduk bersebelahan dalam mobil, tetapi tampaknya tak satupun diantara mereka yang ingin berbicara. Jay sesekali melirik ke samping, di sana ada Nadila yang tampak tenang dengan tatapan fokus ke depan. Setelah pertengkaran antara gadis itu dan mantannya, dia belum buka suara sampai saat ini.

Bahkan ketika mobil Jay berhenti di depan rumah gadis itu pun, Nadila masih diam.

"Apa perlu keliling sekali lagi?"

Nadila menoleh, dia menoleh ke sekeliling seperti orang linglung. "Udah sampe, ya? Makasih udah anterin," katanya dengan buru-buru.

Namun, sebelum Nadila turun dari mobil, Jay menangkap tangan gadis itu. Sempat terjadi hening beberapa saat dengan posisi saling bertatapan.

"Gue nggak tau bisa ngomong gini atau nggak, tapi ... kalo ada apa-apa, telpon gue."

Nadila yang paham maksud Jay merujuk pada Kavi yang mengganggunya tadi sore, hanya bisa menipiskan bibir-berusaha tersenyum. "Gue baik-baik aja," tandasnya.

"Lo nggak baik-baik aja dan lo boleh kok ngerasain perasaan itu. Itu manusiawi." Jay menatap Nadila dengan dalam, berusaha membaca perasaan gadis itu. Namun, dia perempuan yang susah untuk dibaca. Meskipun hampir sebulan berteman, mereka hanya mengenal sebatas tahu nama saja.

Tiba-tiba saja Nadila terkekeh, lalu memukul pelan lengan Jay. Pergerakan gadis itu benar-benar tidak terbaca. "Gue nggak ada waktu buat ngerasain itu. Semuanya bakal berantakan kalo sampe gue mikirin perasaan."

"Justru itu yang salah. Perasaan itu sumber dari semuanyaa. Hari ini mungkin nggak apa-apa kalo lo mendem perasaan itu, tapi hari-hari selanjutnya? Lo bakal mudah marah, lo bakal mudah tersinggung sama hal-hal kecil. Tubuh lo juga ngerasa sakit. Kalo udah gitu, aktivitas lo terganggu, kan?"

Nadila mulai berpikir tentang tubuhnya yang akhir-akhir ini memang sering sakit, jam tidurnya juga terganggu. Dia pikir itu hal wajar karena kelelahan. Siapa sangka itu bersumber dari perasaannya yang tidak terluapkan dengan benar?

"Kalo lo bingung harus gimana, lo bisa cari bantuan. Lebih baik ke tenaga profesional dari pada minta bantuan ke temen atau keluarga, kan?"

Gadis itu terkejut mendengar ucapan Jay. "Gue nggak separah itu," katanya sedikit tersinggung. Apa Jay berpikir dia depresi sampai butuh bantuan tenaga profesional?

Bukannya merasa tidak enak, Jay justru tersenyum. "Lo nggak perlu gila atau bahkan sampai lupa segalanya buat ke psikolog. Saat kita stress, tidak nyaman dengan sesuatu, kita juga bisa ke sana. Lagian ke psikolog juga udah ter-cover BPJS. Apalagi yang perlu dikhawatirkan? Omongan orang? Hm?"

Entah Jay memiliki mantra apa dalam ucapannya, tetapi sesuatu di dalam diri Nadila tergerak untuk mempercayai laki-laki itu. Dia ingin melakukan apapun yang Jay katakan, tanpa peduli dengan segala kekhawatiran yang selama ini dia pikirkan. Kekhawatiran tentang pendapat orang lain, kekhawatiran tentang keluarganya jika dia sakit atau lemah. Atau sekadar tidak mau saat membuat orang lain mengkhawatirkannya.

Interested [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang