Tak selamanya bunga mawar akan mekar, tak selamanya air akan pasang. Begitupula tubuh manusia, ia akan lemah, rapuh dan hancur. Mungkin tak sekarang, tetapi nanti pasti akan terjadi.
Mungkin pula, itu yang dirasakan oleh Nadila. Tubuhnya memang kuat, siap bekerja tanpa lelah, menghadapi segala persoalan kehidupan tanpa mengeluh. Namun, dia pun akan menyerah pada akhirnya.
Decitan roda dari brangkar terdengar memilukan malam itu, karena diiringi suara tangisan keluarganya. Mereka berlari mengejar benda tersebut sampai ke depan UGD, tempat Nadila akan mendapatkan pertolongan pertama.
"Kenapa bisa pingsan, Pak?"
"Saya juga tidak tau, Dok. Begitu pulang, anak saya sudah pingsan di ruang tamu." Bapak menjawab dengan suara gemeteran.
"Apa makanan terakhir yang dia makan?"
"Dia ... belum makan sepertinya." Ibu ragu karena tidak memperhatikan apakah Nadila makan atau tidak karena permasalahan dirumah. Semua orang sibuk dengan dirinya, hanya gadis itu yang sibuk memperhatikan semua orang.
"Apa dia mengonsumsi obat-obatan belakangan ini?"
"Ada! Mbak Dila minum obat, Dokter." Nabila cukup tanggap sampai ingat mengambil obat Nadila. Dia yakin obat itu menberikan jawaban tentang penyakitnya.
"Obat tidur," desis pria berstelan jas putih itu. "Kami belum tahu pasti apa yang terjadi, bisa saja pasien mengonsumsi obat ini sebelumnya tanpa makan. Bisa juga ... percobaan bunuh diri."
Ibu meraung dalam dekapan Andi yang kaku. Bapak dengan tatapan kosongnya, melihat tak tentu arah karena memang kehilangan arah. Sementara itu Nabila menggendong Adnan dengan Namira di sampingnya tanpa tahu apa yang terjadi.
"Kamu liat sekarang apa yang terjadi? Nadila yang jadi korban keegoisan kamu!" Ibu yang belum reda emosnya, kembali melampiaskan pada Bapak begitu mereka keluar UGD.
"Sekarang, kamu cari uang buat pengobatan Nadila. Itu pun kalo kamu mau melihatnya lagi!"
"Buk!" Andi langsung menyergah.
Ibu yang kalang kabut tak bisa mengontrol dirinya. Wanita itu menatap tajam Bapak yang masih berdiri tak jauh dari sana. Pria itu menatap pintu kaca dengan khawatir, berharap anak sulungnya bisa diselamatkan. Nadila, anak pertama yang mengajarkannya menjadi orang tua. Nadila, senyumannya yang paling tulus.
"Permisi, Pak, Buk. Ini wali dari pasien perempuan barusan?" Seorang perawat datang memanggil. Naida langsung menyambar untuk mengetahui apa yang ingin disampaikan.
"Saya Ibunya. Ada apa suster?"
"Ibu harus mendaftarkan pasien dulu. Mari ikut saya ke bagian administrasi."
Ibu meninggalkan Bapak bersama Andi menuju meja administrasi. Pria itu begitu frustrasi karena tidak tahu harus mencari uang kemana. Di satu sisi, anaknya di ambang kematian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interested [TAMAT]
RomanceIni tentang Nadila, yang diselingkuhi padahal hubungan mereka baik-baik saja. Ini tentang Jayendra yang harus berpisah dengan pacarnya karena berbeda keyakinan. Keduanya bertemu saat menjadi relawan kampus untuk bencana alam. Ketika dua hati yang...