| happy reading |
| don't forget to give your best support |###
Jam 9 malam. Rekor baru aku pulang selarut ini. Sebenarnya aku bisa saja pulang jam 6 tadi, karena pemeriksaan dari dokter tak membutuhkan waktu lama, tapi 3 jam setelahnya aku memilih jalan-jalan sendirian dulu. Tadi itu aku sudah sampai di depan rumah, tapi alih-alih masuk, aku justru kembali berbalik dan berjalan menuju taman. Duduk di antara dinginnya udara malam selama hampir satu jam, lalu berjalan-jalan tak tentu arah hingga aku tak sadar aku sudah menghabiskan waktu 3 jam berada di sini. Karena sudah larut, aku akhirnya pulang. Berharap orang rumah sudah tidur semua, aku malas menjawab pertanyaan apapun sekarang.Tapi aku salah. Saat melewati ruang tengah, aku berpapasan dengan Agam yang baru saja dari dapur. Wajahnya seperti menelisik, sementara satu tangannya memegang segelas air.
"Kenapa?"
Anak itu mengedikkan bahunya. "Tumben baru pulang."
Aku berlalu saja, berjalan cepat menuju kamar. Bukan tanpa alasan, tiba-tiba saja aku merasa ingin muntah, karena begitu tiba di kamar, aku bergegas masuk ke kamar mandi. Muntah, namun tak ada yang keluar selain ludah. Demi Tuhan aku ingin menangis saja.
"Kak? Kamu di dalam?"
Cepat-cepat aku bersihkan wajahku, menatap sebentar pantulan diriku di cermin. Wajah yang sedikit pucat, semoga saja Papa tidak menyadarinya.
"Kenapa, Pa?"
"Nggak ada, Agam bilang kamu baru pulang. Udah makan malam?"
Aku menggeleng pelan.
"Kami udah makan tadi, tapi Mama udah sisain buat kamu, ada di microwave. Mau Papa panaskan?"
"Nggak usah. Aku nggak akan makan."
"Kamu masih sakit kayaknya—"
Aku tidak mendengarkan kalimat Papa lebih lanjut, berbalik cepat kemudian berjongkok di depan toilet. Kembali, aku muntah yang lagi-lagi hanya memuntahkan lendir ludahku sendiri. Tenggorokanku sudah sakit dan terasa asam.
"Tar? Tari? Buka pintunya."
Aku memang menutup pintu toilet, memutus satu-satunya jalan yang menghubungkan antara aku dengan Papa. Tidak, aku tidak ingin Papa berpikiran yang tidak-tidak, jadi kuputuskan untuk mengunci pintu kamar mandi.
"Kak?!"
"Aku gak papa!" teriakku setelah menekan tombol flush. Segera aku membuka pintu, menghadap Papa yang masih berdiri di depan pintu. "Maaf, tadi cuma agak mual aja."
"Besok ke dokter sama Papa."
Mataku melotot tanpa bisa dicegah. "Aku udah tadi. Gak usah—"
"Nggak. Papa harus tahu kondisi kamu."
"Aku cuma asam lambung."
"Asam lambung kamu nggak separah ini, Kak."
"Kalau emang itu diagnosis dokter, aku harus gimana?"
"..."
"Pa, udahlah. Kakak pasti sembuh kok nanti, kalau pola makannya udah bener lagi." Dari arah belakang, Agam menyela. "Mama nanyain Papa tuh."
Kulihat, Papa menghela napas panjang, sebelum kemudian berlalu keluar. Aku mengikutinya dengan langkah lesu, hendak menutup pintu namun sebelum aku mendorongnya, Agam mencekal lenganku.
"Lo sama pacar lo gak ngapa-ngapain kan selama di Korea?"
Alisku bertaut kesal. "Ngapa-ngapain gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcakes | Jisung ✓
RomantikPark Ji-young, tidak pernah aku bayangkan nama itu akan berpengaruh besar pada garis hidupku. Dia yang kukagumi selama 9 tahun, ternyata menjadi mimpi indah sekaligus terburuk untukku. Berkali-kali aku mengingatkan diri bahwa seseorang yang biasa se...