| happy reading |
| don't forget to give your best support |
###
Ternyata kasus yang dibilang Kak Ji-hyun benar adanya. Aku membacanya di internet, dengan masalah yang persis sepertiku. Tiba-tiba benci pada suami sendiri tanpa alasan yang jelas.
Kini genap satu minggu aku tak bertemu dengannya. 7 hari itu Park Ji-young tak pernah absen datang ke apartemen hanya untuk menanyakan tentangku. Namun 7 hari itu juga aku selalu sembunyi di kamar ketika dia datang. Masih enggan menatapnya.
Namun, hari ini sudah kuputuskan untuk melawan ketidaksukaan ini. Kasihan juga melihatnya jadi pendiam di televisi. Seharian ini juga laki-laki itu belum berkunjung, sepertinya sibuk bekerja. Jadi begitu jam menunjukkan angka delapan lebih lima menit, kakiku berjalan hati-hati keluar dari apartemen Kak Ji-hyun. Tidak berpamitan sebab perempuan itu masih belum pulang, lembur untuk yang ke sekian.
Aku memilih bus lalu berjalan sekitar seratus meter untuk sampai area gedung apartemen Park Ji-young. Begitu sampai, langkahku yang semula santai berubah sedikit cepat, dan aku lebih waspada pada sekitar. Takut ada yang tengah mengintai.
Suatu keberuntungan saat pintu lift terbuka dan keadaan sepanjang lorong begitu sepi. Aku melangkah ringan, pegal juga berlari kecil sepanjang lobi tadi. Namun ketenangan itu tak berlangsung lama sebab aku menemukan seorang laki-laki baru saja keluar dari apartemen Park Ji-young. Laki-laki yang begitu kukenal karena dia adalah pacarku sendiri. Aku bergerak refleks menyembunyikan diri di balik tiang. Menikmati bagaimana jantungku bertalu dengan tidak normal di dalam dada.
Hampir saja...
Aku kembali melanjutkan perjalanan setelah menunggu beberapa saat, lorong kembali sepi dan aku memanfaatkan itu dengan melebarkan langkah agar lebih cepat sampai. Deretan angka pin kunci apartemen Park Ji-young sudah ku hapal di luar kepala, dengan percobaan pertama aku berhasil membukanya dan langsung menemukan kehadiran Park Ji-young yang sedang duduk bersandar di sofa ruang tengah. Sepasang matanya terpejam, tapi aku tahu dia tidak tertidur karena lekas bersuara.
"Ada barangmu yang ketinggalan, Seungri-ah?"
Aku tersenyum mendengar suaranya. Ternyata dia berpikir aku adalah temannya.
"Ini aku," ujarku memperkenalkan diri.
Terang saja, matanya terbuka dan dia terlonjak dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Tubuhnya bangkit.
"Bagaimana bisa..." gumamnya bingung. "Sedang apa kau di sini? Oh, ada barang yang ingin kau ambil ya? Kenapa tidak memintaku membawanya nanti? Aku berencana ke tempatmu sebentar lagi—"
Aku merindukan tiap sudut rumah ini yang tak berubah sedikitpun. Persisnya, aku merindukan sosok yang tengah kupeluk saat ini. Tubuh yang mendadak kaku saat aku melingkarkan tanganku di pinggangnya.
"Kau... sudah tidak membenciku lagi?"
"Eung..." Aku menggeleng di dadanya. Sepersekian detik kemudian, tubuhku terasa jatuh, dan baru kusadari aku sudah duduk di pangkuan Park Ji-young. "Apa kau tidak merasa aku berat?"
"Aku bahkan masih kuat menggendongmu ke kamar sekarang."
"Hei!"
Tawanya menguar dengan renyah. "Aku merindukanmu. Sangat. Maaf untuk kata-kataku waktu itu." Lagi dan lagi dia memelukku, menyembunyikan wajahnya di perpotongan leherku.
"Aku juga minta maaf untuk sikapku yang aneh itu."
"Sstttt, itu tidak aneh. Aku memakluminya karena itu hormon kehamilan." Lirihannya sedikit tidak jelas karena dia bersuara di antara helai rambutku, beruntung karena suaranya cukup dekat dengan telinga jadi aku mampu mendengarnya. "Jadi, apa sekarang kau sudah tidak membenciku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcakes | Jisung ✓
RomancePark Ji-young, tidak pernah aku bayangkan nama itu akan berpengaruh besar pada garis hidupku. Dia yang kukagumi selama 9 tahun, ternyata menjadi mimpi indah sekaligus terburuk untukku. Berkali-kali aku mengingatkan diri bahwa seseorang yang biasa se...