| happy reading |
| don't forget to give your best support |###
"Tari, Mama mohon jawab jujur, kamu hamil?"
Kujawab pertanyaan itu dengan anggukan patah-patah yang persis seperti robot. Aku sudah tidak bisa mengelak, bukti kuat sudah diketahui Mama. Walau dalam hati aku merasa takut setengah mati.
Mama langsung mengguncang bahuku, aku refleks memegangi perut. "Kenapa bisa? Kamu lupa semua kata-kata Mama, HAH?"
"Jangan nakutin Kakak." Ini suara Agam, kulihat dia berusaha menjauhkan Mama dariku.
"Lepas, Agam! Dia harus dikasih paham. Selama ini dia bilang iya iya Mama pikir dia paham, tapi ternyata enggak sama sekali."
Namun tetap saja, Agam yang laki-laki jelas bisa dengan mudah membawa mundur Mama.
"Nggak gini juga, Mama gak lihat Kakak udah ketakutan?"
Iya, aku memang ketakutan. Aku bahkan tidak bisa mengira setakut apa aku sekarang. Amarah Mama jauh dari prediksiku, yang langsung membuatku berpikir, jika Mama saja sudah semarah ini, lalu bagaimana dengan Papa?
Aku tidak sadar sejak kapan aku menangis, aku baru tersadar ketika pipiku terasa basah dan aku cepat-cepat menyekanya. Kepalaku pusing, aku ingin istirahat, tapi...
Padahal baru beberapa saat suasana mulai tenang, namun belum sempat aku menenangkan diri lebih lama, Mama kembali menarikku ke hadapannya. Dengan sebelah tangannya yang mencengkram erat tanganku. Sakit, aku berusaha melepaskan diri tapi tenagaku tidak mampu menandingi emosi Mama.
"Bilang sama Mama, siapa ayahnya? Pacarmu?!"
"S-sakit..."
"Jawab Tari!"
Aku menggeleng, untuk menjawabnya dan untuk memohon agar melepaskan cekalan tangannya. Aku bisa mati rasa.
"Mama, udah! Kak Tari udah takut banget."
Agam masih punya sedikit hati, ketika aku pikir dia akan menonton saja karena lama terdiam. Dia menarikku ke sofa.
"Maaf..." Entah, aku juga tidak tahu kenapa aku meminta maaf. Tapi hanya satu kata itu yang memenuhi kepalaku sekarang.
"Udah gak papa."
"Gampang banget kamu ngomong gak apa-apa? Kalau gitu coba kamu bilang sendiri ke Papa! Mama udah pusing banget dari tadi."
"Ada apa?"
Kedatangan Papa yang—aku bingung harus menyebutnya waktu yang tepat atau justru tidak—tapi jelas hadirnya Papa membuat suasana di ruang tengah ini semakin mencekam. Ketegangan semakin terasa olehku, diam-diam aku merapatkan tubuh dengan Agam.
"Kalian kenapa? Tari, kenapa kamu nangis?"
"Tari hamil."
"HAH?"
Mataku yang mungkin sudah memerah melirik Mama dengan bingung, kenapa tidak biarkan aku saja yang berbicara? Mama yang bilang begitu bisa membuat Papa salah paham. Tapi kulihat Mama juga seperti frustrasi karena menyugar rambutnya. "Aku gak ngerti, aku juga baru tau hari ini dari Agam. Agam yang nemuin testpack sama kotak susu ibu hamil di kamarnya Tari."
"Kak, serius?" Papa berlutut di hadapanku, aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. "Gimana bisa?"
"Gimana bisa katamu? Jelas bisa kalau dia sama pacarnya lupa sama batasan masing-masing."
"Mama!"
"Kenapa? Itu kenyataannya."
"Terus kenapa kalau aku hamil? Aku hamil juga gak akan ngerepotin Mama. Aku bakal kerja lagi, aku bantuin sekolahnya Agam. Dia nggak akan jadi penghalang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcakes | Jisung ✓
RomansaPark Ji-young, tidak pernah aku bayangkan nama itu akan berpengaruh besar pada garis hidupku. Dia yang kukagumi selama 9 tahun, ternyata menjadi mimpi indah sekaligus terburuk untukku. Berkali-kali aku mengingatkan diri bahwa seseorang yang biasa se...