| happy reading |
| don't forget to give your best support |
###
Kami kembali tak bertatap muka setelah itu. 4 hari lamanya. Yang menjadi pertanyaan, kenapa 4 hari ini terasa lebih lama dari 3 minggu sebelumnya? Apa karena aku yang terus menunggu kedatangannya?
Bodoh. Jelas dia sedang syuting.
Batinku kembali berceloteh setelah Park Ji-young lagi-lagi tak berkunjung ke apartemen. Sudah hampir 3 jam aku duduk menunggu di ruang tengah, dengan mata tak pernah lepas dari pintu utama.
Malam ini, dia kembali tidak datang.
"Kau sedang apa? Kenapa belum istirahat?"
Kak Ji-hyun tiba-tiba duduk di sebelahku bersamaan dengan aku yang menghela napas berat. Aku berjengit, mengulas senyum kaku saat tatapannya menelisik wajahku.
"Kau menunggu Ji-young ya?"
Aku memang tidak pernah bisa berbohong padanya.
"Ji-young masih di luar kota, syuting. Mungkin akan pulang besok atau lusa."
Kadangkala aku melupakan fakta bahwa Kak Ji-hyun masihlah orang perusahaan yang jelas lebih tahu aktivitas Ji-young daripada aku.
"Begitu, ya?" tanyaku lebih seperti gumam, namun mendapat anggukan dari Kak Ji-hyun.
"Iya. Kau istirahat saja, tidak usah menunggunya, nanti juga dia datang."
Saat dia hendak membantuku berdiri, aku memilih tetap tak beranjak. "Eonni, apa dia akan datang lagi?"
"Maksudmu?"
Hela napasku menguar lalu aku melepaskan cekalan tangan Kak Ji-hyun di tangan kiriku. "Aku tidak yakin dia akan ke sini lagi. Terakhir kali kami bertemu kami bertengkar, eonni."
"Bertengkar?"
Kali ini aku mengangguk seraya berusaha menahan genangan di pelupuk mata yang nyaris turun. "Aku menyakitinya. Aku membuatnya tersinggung." Pada akhirnya cairan itu menganak sungai dan aku menutupinya dengan kedua telapak tangan karena malu. "Aku sudah menyakiti hatinya..."
"Sebentar, Tari, sebentar. Coba jelaskan apa yang membuat kalian bertengkar. Aku tidak paham karena setahuku kalian sama-sama orang yang tenang."
Tenang apanya, Kak? Aku sangat keras kepala, banyak kesempatan saat aku mengeluarkan emosiku di depan Park Ji-young dan tidak memahaminya. Aku egois, juga kekanakan.
"Dia berbicara tentang masa depan, dia ingin kami merawat cupcakes bersama, tapi aku menolaknya. Karena... aku tidak bisa. Aku tidak ingin menghancurkan karier yang dia bangun sejak kecil, tapi dia—dia mengatakan akan melepaskan itu semua demi aku. Aku marah, lalu membentaknya." Aku sudah tidak memikirkan apa kata-kataku cukup jelas didengar Kak Ji-hyun. Perasaan sesak yang kurasakan di dada membuatku tak bisa berpikir, aku juga berusaha menghentikan tangisanku, tapi rasanya susah sekali.
"Apa kau mencintainya?" Mataku memandang bingung Kak Ji-hyun yang baru saja bertanya. "Park Ji-young. Kau mencintainya?"
"..., tidak tahu."
"Kenapa tidak tahu?"
"Yang aku tahu, aku hanya mencintai satu pria, dan itu bukan Ji-young."
Itu pengakuan. Setelah 2 bulan tinggal bersama Kak Ji-hyun, ini pertama kalinya aku jujur menceritakan semua padanya. Aku sudah lelah berlakon di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcakes | Jisung ✓
RomancePark Ji-young, tidak pernah aku bayangkan nama itu akan berpengaruh besar pada garis hidupku. Dia yang kukagumi selama 9 tahun, ternyata menjadi mimpi indah sekaligus terburuk untukku. Berkali-kali aku mengingatkan diri bahwa seseorang yang biasa se...