| happy reading |
| don't forget to give your best support |###
Pagi hari, saat aku terbangun karena alarm khusus jadwal ASI Cupcakes berdering, aku hanya sendirian. Tidak ada Ji-young, yang membuatku sempat bertanya-tanya, apakah yang kemarin itu ilusiku?
Apa aku mulai gila karena terlalu merindukannya?
Sepertinya iya. Sebab keluargaku yang datang tak sekalipun membahasnya, selama Mama mengemasi barang-barangku, yang Mama bicarakan hanya seputar keputusanku untuk tinggal kembali bersama Park Ji-young.
"Kamu serius mau balik ke sana?"
"Iya, Mama. Aku udah mikirin ini jauh sebelum Cupcakes lahir." Terhitung ke-enam kali Mama bertanya hal yang sama, dan sebanyak itu juga template jawaban yang kugunakan, karena tidak mungkin aku menjawab "semua keputusanku berubah setelah Ji-young yang menemaniku melahirkan kemarin".
"Kenapa bisa tiba-tiba berubah? Mama masih ingat ya, malam di mana kamu keukeuh pengen ninggalin dia, sampai punya rencana kabur ke luar negeri."
Sambil memperhatikannya yang sedang melipat baju, aku menghela napas berat. "Waktu Mama bilang aku egois, aku mikir. Aku bakal sangat egois kalau misahin mereka. Masalahnya antara aku sama dia, Cupcakes gak ada sangkut-pautnya. Nggak seharusnya aku bikin dia tumbuh tanpa sosok ayah."
"Astaga, sejak kapan kamu jadi sedewasa ini? Perasaan kemarin masih nangis pas denger kabar Ji-young pingsan."
Tumbuh di keluarga yang lengkap tidak serta-merta membuatku hidup bergelimang pujian. Baik aku pada mereka ataupun mereka padaku, jarang sekali kami memberi pujian. Pujian seperti hebat, bangga, kerja bagus jarang terdengar jika bukan pada hal besar seperti berhasil meraih kejuaraan sekolah. Sementara untuk hal-hal kecil, kami lebih memilih merayakan dengan kumpul dalam meja makan.
Jadi mendengar Papa memuji nyerempet meledek itu bukannya tersanjung, bibirku malah maju ke depan. Kalimatnya terdengar seperti aku baru beranjak dewasa saja. Usiaku sudah hampir seperempat abad, dan aku yakin aku sudah dewasa bahkan sejak di bangku SMA. Tidak tahu saja susahnya hidupku selama merantau 4 tahun.
"Papa kagum sama cara berpikir kamu, Kak. Bagus," koreksinya, kali ini betulan tulus sepertinya. Senyumku mengembang.
"Administrasinya udah selesai?"
Papa mengangguk. "Sudah. Tinggal tebus obat."
"Terus Agam?"
"Tadi katanya kurang enak badan, jadi pulang duluan. Oh iya, kamu pulang dulu ke rumah atau langsung Papa anterin ke tempat Ji-young?"
Waduh. Padahal aku mengharapkan Agam yang mengantar biar lebih mudah.
"Kak?"
"..., rumah dulu aja, Pa. Aku ... belum bicara sama Ji-young."
***
Aku betulan pulang ke rumah. Rumah pinggir pantai yang sudah kutempati selama satu bulan terakhir. Jujur, di rumah yang sangat sederhana ini barang-barang cupcakes tidak banyak. Hanya peralatan penting untuk bayi baru lahir yang dibeli Papa mendadak satu minggu sebelum HPL.
Barang lengkapnya ada di apartemen Ji-young.
Aku tiba di rumah sekitar pukul sebelas. Langsung disibukkan dengan Cupcakes. Memandikannya untuk pertama kali, hingga tidur bersama. Rasanya masih aneh, sesuatu yang selama ini di dalam tubuhku sudah bisa kupeluk. Sayang sekali sampai saat ini Ji-young masih belum melihat putrinya yang betulan duplikatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcakes | Jisung ✓
RomansaPark Ji-young, tidak pernah aku bayangkan nama itu akan berpengaruh besar pada garis hidupku. Dia yang kukagumi selama 9 tahun, ternyata menjadi mimpi indah sekaligus terburuk untukku. Berkali-kali aku mengingatkan diri bahwa seseorang yang biasa se...