| happy reading |
| don't forget to give your best support |
###
Aku selalu sayang Mama.
Aku dihantarkan pada kenyataan oleh sebuah suara yang cukup asing di telingaku. Suara yang belum pernah kudengar sebelumnya, namun kalimatnya mampu menghangatkan hatiku.
Setelah mengerjap dan menyesuaikan diri, aku langsung paham di mana aku terbaring saat ini. Ruang inap. Aku di rumah sakit.
Tapi... tidak ada siapapun di sini...
Pandanganku menyapu ruangan luas ini sekali lagi, benar aku sendirian. Entah kenapa itu sedikit membuatku sedih, harusnya aku tidak usah bangun secepat ini, tapi—
Oh? Mungkinkah suara yang kudengar itu suara cupcakes?
Cupcakes?!
Segera aku memandang perutku—lega sebab dia masih ada. Aku pikir rasa sakit itu akan memisahkanku dengannya, tapi melihat perutku yang masih buncit, aku praktis bernapas lega.
"Oh God, you're awake!" Dari pintu samping, mataku mengikuti langkah Ji-young yang mendekat. Ekspresinya antara terkejut dan bahagia, membuat sudut bibirku berkedut menahan senyum. Dia lalu membubuhkan kecupan di dahi dan lenganku yang bebas infus. "Terima kasih, terima kasih..."
"Jie, aku tidak apa-apa..." Kepalaku menggeleng, tak suka melihatnya hampir menangis hanya karena aku yang sebenarnya baik-baik saja.
"Tapi kau hampir meninggalkanku," ungkapnya, membuatku terdiam karena terhenyak. Satu bulir meluncur begitu saja dari mata kirinya. "Tapi sekarang aku lega karena kau sudah sadar. Bagaimana? Ada yang sakit?"
Kembali, aku menggeleng pelan. "Tolong, air saja."
Tenggorokanku kering, apa aku tidur lumayan lama? Entah, aku belum tahu sekarang jam berapa. Begitu kerongkonganku dialiri air dari botol yang diberikan Ji-young, rasanya menyegarkan.
"Aku takut melihatmu tak sadarkan diri kemarin, dengan darah yang keluar... aku sangat takut. Sungguh. Jangan seperti itu lagi."
"Aku? Sampai pendarahan?"
Kepalanya mengangguk pelan. "Tidak terlalu serius, tapi tetap saja. Ada apa denganmu sebenarnya?"
Bagaimana menjawabnya? Haruskah ku ceritakan apa yang kulihat semalam?
"Tidak apa-apa jika tidak ingin dijawab. Dokter bilang saat kau sadar aku harus bantu memijat kakimu." Tanpa menunggu balasan, dia mengeluarkan kakiku dari dalam selimut. Dan merasakan pijatannya yang lembut, kakiku yang terasa tegang perlahan melemas. Rileks. "Bengkak sekali. Maafkan aku, seharusnya aku tidak usah mengajakmu berbelanja."
"Aku... melihatnya, Jie." Pada akhirnya, setelah berperang batin cukup lama, aku memutuskan jujur.
"Melihat apa?"
"Banyak penggemarmu yang tidak menyukaiku, mereka membuat komentar yang—"
"Kau melakukannya?"
Nyaliku menciut ketika dia menyambar kalimatku. "Hanya... beberapa," gumamku, tanpa sadar telah mengulum bibir saat pergerakan tangan Ji-young berhenti. Tidak menatap saja aku bisa merasakan tatapannya yang menusukku. Sial, apa keputusanku salah?
"Itukah... alasanmu melarangku melihat sosial media?"
"Di mana ponselmu?"
Huh? "Tidak... tahu. Mungkin di rumah. Ada apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupcakes | Jisung ✓
RomansaPark Ji-young, tidak pernah aku bayangkan nama itu akan berpengaruh besar pada garis hidupku. Dia yang kukagumi selama 9 tahun, ternyata menjadi mimpi indah sekaligus terburuk untukku. Berkali-kali aku mengingatkan diri bahwa seseorang yang biasa se...