Chapter 2

5 1 1
                                    

***

"Uang sewa kos ini masih sisa 2 minggu lagi. Selama 2 minggu itu juga saya akan hidup." Nurin berkata demikian tepat saat membuka pintu kosnya dengan keadaan basah kuyup.

"Apa kamu sedang mengancam Tuhan?"

Suara itu melintas,samar namun terdengar jelas padahal Nurin memiliki sedikit masalah pendengaran. Wanita itu celingak-celinguk,segera masuk kedalam dan mengunci pintu khawatir ada yang mengikutinya.

Di balik pintu ia menatap kosong ruang tamu kecilnya. Diam-diam masih mempertanyakan suara aneh yang barusan ia dengar. Dari mana suara itu? Dengan rasa penasaran yang masih tersisa,Nurin menyingkap sedikit gorden jendela berharap melihat seseorang. Namun sejauh matanya memandang hanya ada hujan dan cahaya dari kilat yang menyala-nyala.

Sejak kecil Nurin menyukai kilat. Dia senang kalau-kalau punya kesempatan melihat petir yang menyala meretakkan langit. Semalam hujan sangat deras bercampur kilat,jadi Nurin hanya merebahkan diri di kasurnya dan melihat kearah jendela kaca menikmati cahaya kilat yang menyambar-nyambar tanpa memikirkan apapun sampai pukul 2 dini hari.

Pagi menjelang siang Nurin terbangun oleh suara ketukan pintu dari luar. Wanita itu sepenuhnya telah membuka matanya,namun terbesit pikiran untuk mengabaikannya karna rasa-rasanya ia tidak sanggub untuk bangkit. Sekujur tulangnya ngelu belum lagi kepalanya yang pusing. Akan tetapi tamunya itu tidak juga lelah mengetuk pintu,hal itu mulai mengusik Nurin sehingga mau tidak mau ia memaksa dirinya untuk berdiri menyambut tamunya.

Begitu pintu terbuka,seorang ibu separo baya dengan gamis khas ibu-ibu pengajian tersenyum kearahnya.

"Kening mbak nya kok di perban? Mbak nya kenapa?" Belum-belum begitu Nurin menampilkan wujudnya,Ibu itu langsung bertanya penuh khawatir.

"Ini kemarin saya ketabrak mobil," jawab Nurin seadanya.

"Innalilahi. Orangnya tanggung jawab nggak mbak?"

"Alhamdulillah,bu."

"Mbak baru bangun ya? Maaf kalau saya menganggu,"

"Saya yang minta maaf,bu karna lama buka pintunya." Balas Nurin berusaha ramah kepada ibu kosnya itu. "Ada apa ya,bu?" Tanya Naresha.

"Ini mbak buat sarapan. Kebetulan tadi ada acara dirumah saya,makanannya banyak yang sisa. Buat mbak sarapan ya."

Ibu kosnya itu tidak berlama-lama disana,begitu Nurin menerimanya beliau langsung pamit pergi dengan tergesa-gesa.

Nurin masih di ambang pintu, teringat perkataannya semalam dan ia merasa sedikit bersalah karena hal itu.

Kemarin malam tidak benar-benar berlalu begitu saja tanpa Nurin overthingking dengan kelangsungan hidupnya. Nyatanya alasan dia baru bisa terlelap ketika sudah pukul 2 adalah akibat dari segala kesedihan yang terus ia pertanyakan. Kenapa kehidupannya sejak dulu selalu begini? Nurin muak dengan hidupnya sampai batas 2 minggu untuk hidup hendak ia revisi.

Uang yang ia miliki hanya satu lembar kertas warna ungu. Jika ia tidak kunjung dapat pekerjaan,dia sudah tidak mungkin untuk hidup. Dan waktu 2 minggu bersamaan dengan habisnya waktu sewa unit kosnya,mungkin dia sudah mati kelaparan.

Nurin sangat yakin ia akan segera mati. Dan penderitaannya didunia akan berakhir. Namun yang terjadi,begitu bangun ia sudah mendapat rezeki yang dalam hatinya amat sangat ia syukuri. Rasa syukur itulah yang membuat matanya kini mulai memburam.

Perlahan ia buka plastik pembukus makanan itu di ruang tamu. Matanya berbinar melihat semua lauk pauk yang ada. Dengan lauk dan nasi sebanyak itu, hari ini ia bisa makan 3 kali sehari! Atau bahkan bisa ia sisakan untuk makan besok. Kalaupun basi,ia akan tetap memakannya.

"Alhamdulillah." Ia reflek mengucap syukur.

Begitu ia mengambil suapan pertama, matanya menghangat dan ia tidak sanggub untuk mengambil suapan lagi. Mendadak ia teringat dengan ketiga adiknya. Rasanya Nurin ingin berbagi dengan mereka seperti ketika mereka tinggal bersama. Walaupun ia harus mengalah dan mendapat bagian lebih sedikit,tapi Nurin jauh lebih puas saat melihat ketiga adiknya makan dengan lahap. Ia selalu rela kalau ibu memberinya sedikit ayam. Bahkan Nurin tidak keberatan kalau tidak kebagian daging ayamnya,dia bisa makan dengan rempeyek dan serundeng. Itulah kesukaannya.

Begitupun hari ini, ia hanya menyentuh serundeng kelapa dan rempeyeknya saja.

Sudah kebiasaan jadi sedikit susah dihilangkan. Sejak kecil Nurin tumbuh sebagai anak yang penurut,dan nyaris tidak pernah membuat masalah. Nurin adalah harapan bagi keluarga mereka sejak sang kakak diusir dari rumah oleh Ayah. Meskipun kadang Nurin iri dengan adik-adiknya, Nurin selalu menyimpannya sendiri.

Orang-orang selalu menyebut Nurin sebagai anak yang baik. Benar-benar baik sampai mereka ingin memiliki anak seperti Nurin.

Sementara Nurin tidak berharap akan terlahir di dunia lagi sekalipun orangtuanya baik.

****

Halo kamu yang baca!
Makasih yaa...


My Sontoloyo Imam [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang